BREAKING

Jumat, 29 Maret 2013

Menanti Munculnya People Power

Berbagai fenomena menarik menjadi penghias diawal tahun 2010,tentunya fenomena tersebut tetap memiliki dua sisi, menguntungkan bagi kelompok manusia tertentu dan merugikan bagi yang lain, tergantung di pihak mana dan kepentingan apa yang kita milki. Pada dasrnya tulisan ini tidak berpretensi membahas semua fenomena yang dianggap menarik melainkan ia lebih dititikberatkan pada fenomena terkait demokrasi dalam skala makro untuk sebuah negara dan terlepas apakah ia merupakan rangkaian peristiwa yang masih dijalani atau telah menghasilkan babak baru sebagai buah dari peristiwa tersebut.

Paling tidak sebagai lembaran pembuka di tahun 2010, ada dua peristiwa fenomenal yang memiliki kaitan langsunag dengan roda demokrasi yang berjalan, uniknya karena kedua peristiwa tersebut terjadi di Benua Asia, tempat dimana ibu pertiwi berdiam. Gonjang-ganjing politik di Thailand dan penggulingan presiden Kirgistan beserta kabinetnya oleh kekuatan massa rakyat merupakan dua contoh menarik, sebagai penegas bahwa people power masih menjadi kekuatan utama dalam menetukan nasib sebuah Negara.

Sebagai bahan refleksi, kekuatan rakyat tidak hanya mewujud di Thailand dan Kirgistan, akan tetapi negara-negara lain, semisal Philipina dan Indonesia, juga pernah dilanda gelombang people power yang mampu meruntuhkan diktator dan penjajah negara, begitupun dengan belahan dunia lain (Afrika, Amerika, Eropa) kekuatan rakyat juga pernah menunjukka tajinya di semua benua tersebut. Ada sebuah kepercayaan baru sekaligus telah menjadi doktrin bagi orang-orang tertentu, yang berasumsi bahwa kekuatan rakyat (people power) tidak akan mungkin lagi muncul di Indonesia melihat perangkat pendukungnya tidak lagi tersedia, sehingga sangat mustahil mengharapkan perubahan cepat (revolusi) akan terjadi, melainkan hanya perubahan secara lambat atau mungkin devolusi sama sekali. Asumsi di atas kiranya perlu dipahami sebagai bentukan dari sistem yang terancang secara apik oleh aparat negara yang memang tidak pernah rela melihat perubahan terjadi, ketidaksukaan aparatus negara bukanlah tanpa sebab, tetapi pandangan mereka didasarkan pada persoalam resiko, kelihatannya sebagian besar warga negara mafhum bahwa kejahatan yang terjadi di Indonesia merupakan upaya tersistematis dari sekelompok aparat pemerintah yang rela mencengkeram dan memecah negara demi kepentingan. segelintir individu .Tetap ada kemungkinan jika sekelompok kecil aparat Negara tidak melakukan hal tersebut, akan tetapi mereka juga tidak punya keberanian untuk mengungkap kasus terseburt ke permukaan, sehingga jadilah ia pemelihara kejahatan tersistematis.

Perasaan takut bisa diakibatkan oleh faktor buatan yang sengaja dipentaskan aparat negara kotor, dengan cara mengepung dari berbagai arah si “whistle blower” bahkan berusaha untuk mematikan peluitnya, layaknya Susno Duadji yang punya Itikad mencuci Lumpur hitam di tubuh Polri, namun kaki baru bergerak selangkah,  segala jenis rantai telah disiapkan guna mengikat kaki si peniup peluit, agar tidak melangkah jauh, dan menyeret orang-orang yang sepatutnya diseret ke balik jeruji besi. Inilah yang biasa disebut dengan asas saling menjaga diantara sesama perusak bangsa. Akumulasi dari berbagai carut-marut yang belakangan ini muncul bisa menjadi tempat lepas landas bagi people power, akan tetapi sangat disayangkan karena tak setupun skandal yang terkawal hingga tuntas. Perlu dipertegas bahwa pengalihan dari satu isu ke isu lain tidak bisa dilepas dari campur tangan pemerintah, yang selalu menggelindingkan bola panas bila bola panas sebelumnya dianggap mulai mengancam kedudukannya. Pertarungan yang terjadi dalam ruang pemerintahan merupakan sebuah drama politik antara penguasa dan oposisi sebagai pemain, kedua pihak selalu berebut kekuasaan satu sama lain, oposisi selalu menyerang penguasa karena kebijakannya dianggap tidak berpihak ke rakyat ,sementara penguasa senantiasa pasang badan demi membela kebijakannya, pada dasarnya kedua belah pihak masing-masing memiliki kepentingan dalam perkara kekuasaan. Penguasa, karena ia adalah pemegang kontrol terhadap negara,  maka segala upaya akan mereka lakukan untuk meredam arus perubahan. Contoh konkritnya ketiaka pemerintah menaikkan harga BBM, maka untuk meredam amarah rakyat, maka penguasa lalu memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) atau memformat BLT dalam bentuk biaya siswa di perguruan tinggi, agar mahasiswa yang selalu menjadi inspirator perubahan tidak lagi bersenandung menyanyikan liri-lirik perubahan. 

Pemerintah boleh saja tersenyum puas dengan hasil keringatnya, karena kelihatannya masyarakat kita tergolong masyarakat apatis dimana kultur budaya diam menjadi salah satu penandanya, bahkan pemerintah tidak hanya telah mendiamkan masyarakat, tetapi juga berhasil mencekoki pikiran mereka untuk meredakan perlawanan opini terhadap oknum gerakan yang sebenarnya ingin membela masyarakat sendiri. Secara sosiopolitik, prilaku masyarakat kita juga harus dilihat sebagai prilaku menyimpang, hal ini disebabkan mereka pernah berada didalam cengkeraman rezim otoriter yang memang sengaja memproduk budaya bisu. Sehingga dari sisi psikologi, watak diam yang sudah terbentuk dalam masyarakat kita, sangat gampang dibangkitkan kembali, hanya memberikan stimulus berupa adigium bahwa “warga negara yang baik selalu patuh terhadap perintah pemerintah”. Kata “patuh” selalu direkayasa sedemikian rupa agar ‘patuh” selalu dimengerti sebagai kepatuhan pasif bukan ‘kepatuhan aktif” model kepatuhan yang selalu membungkuk dihadapan pemerintah, tanpa memperdulikan benar atau salahnya tindakan dari aparatus negara, bukan menjadikan kebenaran sebagai satu-satunya tendensi mutlak dalam menentukan sikap.

Sepanjang tahun 2009 terdapat dua buah kasus yang oleh sebagian pengamat politik dinilai sebagai pertanda bahwa arus balik sejarah demokrasi sedang melanda Indonesia, arus balik sejarah yang dimaksudkan adalah meningkatnya tingkat partisipasi rakyat dalam mengawal sebuah isu besar,  yang dianggap berpotensi memberangus kelangsungan demokrasi di Indonesia. Sebuah kasus besar yang dimakasudkan yakni kasus Bank Century dan kasus penangkapan yang dilakukan terhadap 2 orang petinggi KPK, Chandara M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, yang kemudian popular dengan sebutan Cicak VS Buaya akibat model anekdot dari kepala Bareskrim Mabes Polri (ketika itu masih dijabat oleh Komisaris Jenderal Susno Duadji). Secara kasat mata kita memang tidak bisa menafikan jika kedua kasus tersebut mendapat perhatian intens dari lapisan masyarakat, tidak hanya di kota tetapi juga di desa-desa. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya,  perhatian masyarakat tidak hanya terbatas di depan TV atau radio, atau sebatas meng up date nya lewat koran, masyarakat dalam jumlah ratusan bahkan ribuan ternyata melakukan serangkaian penggalangan dukungan dengan memanfaatkan dunia face book, untuk kemudian melakukan demonstrasi bersama di lapangan sebagai salah satu bentuk usaha mereka dalam mengawal kasus bank century dan kasus Cicak VS Buaya, aksi tersebut tidak hanya terpusat di jantung ibukota, melainkan menembus ke beberapa daerah termasuk Makassar yang sering dikenal sebagai kota demo.

Dalam tahapan tartentu dukungan masyarakat tersebut dianggap mampu mencapai keberhasilan, dan ia telah mampu menjelma menjadi sebuah kekuatan baru di luar wilayah hukum formal yang menyebabkan MA menerbitkan surat perintah pemberhentian penyelidikan terhadap Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, alasannya karena mempertimbangkan aspek sosiologis masyarakat (walaupun belakangan gugatan pra peradilan dari Anggodo dikabulkan oleh pengadilan yang memaksa kedua petinggi KPK harus berurusan kembali dengan masalah hukum). Adapun kasus Bank Century (century gate) yang semenjak awal bergulirnya hingga menggelinding bak bola salju, bergulir kesana-kemari hingga menjadi sulit diperkirakan ke arah mana ia akan bermuara, bahkan sampai sekarangpun muaranya belum jelas, berawal dari laporan nasabah Century yang merasa dirugikan ke DPR lalu disikapi oleh beberapa kader partai yang sebagian besar bukan dari fraksi besar di DPR, diantara sekian fraksi di DPR hanya sebagaian kecil fraksi saja yang sejak awal konsisten ingin mengajukan hak angket,  sementara fraksi besar lainnya masih cenderung menutup diri. Tetapi setelah lobi dimainkan, mendadak fraksi besar yang tadinya menolak inisiatif hak angket tiba-tiba menerima , dari sini keraguan dari beberapa pihak sudah mulai muncul jika terdapat potensi besar “century gate” akan dimodifikasi menjadi sebuah kasus yang sangat politis, bahkan substansi keadilan untuk rakyat bisa saja hilang dalam pengguliran kasus tersebut akibat tertawan oleh kepentinfgan politik elit. Untuk kedua kalinya sebuah kasus di tahun 2009 yang tadinya tidak menarik perhatian, tiba-tiba saja berubah menjadi sebuah isu besar, dan orang-orang menjadi tertarik untuk membincangkannya , bahkan orang yang sama sekali tidak punya hubungan dengan skandal Century, juga tiba-tiba tertarik untuk membincangkannya ,entah angin apa yang lagi berhembus. Parade jalanan dalam bentuk mimbar bebas kembali menjadi pemandangan yang lumrah , berbagai slogan mulai dari yang paling halus sampai yang paling kasar turut diteriakkan, demikian pula foto beberapa petinggi Negara mulai dari SBY, Boediono, hingga Sri Mulyani turut dipertontongkan dalam bentuk yang sangat jelek. 

Semua politisi senayan seakan mengencangkan ikat pinggang untuk memulai perlombaan mawas diri ,karena merasa rakyat yang selama ini tertidur lelap telah terbangun, dan selalu siap mengawasi mereka. Hal ini terindikasi dari berbagai sidang yang diadakan oleh Pansus,  yang selalu disiarkan langsung oleh berbagai media elektronik, sampai terkenal sebuah guyonan “anggota Pansus telah menjadi selebriti baru”. Kondisi tersebut Juga kerap dijadikan alasan utama oleh para legislator senayan agar seakan-akan terlihat bahwa kasus tersebut tidak bisa lagi ditutupi, rakyatlah yang menjadi wasit utamanya. Kondisi yang sama juga terjadi pada kasus Prita Mulya Sari, seorang pasien rumah sakit Omny International yang kemudian harus mendekam dibalik jeruji besi, hanya karena mengeluhkan pelayanan rumah sakit lewat facebook. Uniknya, untuk kasus Prita sempat diadakan konser amal sebagai bentuk penggalangan dana dalam mendukung Prita.

Ketiga macam kasus di atas oleh sebagian pengamat politik dinilai sebagai pertanda munculnya kembali kekuatan rakyat layaknya 1998, ketika gerakan mahasiswa bersama rakyat berhasil melengserkan rezim otoriter Soeharto. Menurut pandangan penulis, ketiga momentum di atas tidak bisa serta merta dianggap sebagai indikator munculnya “people power” sebab ada beberap bagian yang butuh diamati secara lebih seksama. Pertama, dari segi isu, apakah isu yang diusung mampu menyentuh semua kalangan atau hanya sebagian lapis masyarakat kita yang merasa tersentuh dan berkepentingan dengan isu tersebut, kata “berkepentingan” menjadi urgen untuk dicantumkan disini, sebab orang hanya akan bergerak ke ranah tertentu jika ia merasa punya kepentingan disana, namun jika tidak, maka telah dapat ditebak bahwa ia hanya akan bersifat pasif terhadap sebuah isu (baca:masalah) atau paling tidak isu tersebut hanya akan menjadi guyonan politik belaka,  yang sering diperbincangkan di warkop atau di kedai layaknya perbincangan sehari-hari yang sifatnya sambil lalu (sekedar untuk mengisi waktu senggang karena perbincangan terkait politik tidak lagi merupakan sebuah hal tabu dalam masyarakat kita). Dari sisi ini, penting kiranya bagi kita untuk merncermati apakah kasus Bibit Chandra dan Century Gate mampu menjadi magnet yang bisa menarik semua lapisan masyarakat untuk bersama-sama peduli dan melakukan sebuah gerakan perubahan (gerakan ini tidak hars dalam bentuk aksi demonstrasi tetapi bisa dalam bentuk lain). Menurut pembacaan penulis kasus Bibit Chandra dan Century Gate masih terjebak pada tataran kelas menengah hingga elit, maka kemudian yang peduli dan paham dengan isu tersebut hanya mereka yang berasal dari kelas menengah dan elit, sehingga mereka saja yang merasa butuh untuk bertindak terhadap kedua permasalahan di atas. Padahal dalam sistem piramida masyarakat ala Ali Syariati , kelas menengah dan elit adalah strata masyarakat dengan persentase penghuni lebih sedikit dibandingkan dengan kelas terbawah yang dihuni oleh masyarakat grass root, idealnya untuk melakukan sebuah perubahan yang berdampak besar, maka lapisan masyarakat bawah tidak boleh dilupakan dengan menjadikan mereka sebagai pemain cadangan, justru seharusnya mereka menjadi pemain utama dalam mengawali gerak perubahan, sebab tinta sejarah telah mencatat tak satupun perubahan besar yang terjadi di dunia tanpa melibatkan partisipasi aktif masyarakat kelas bawah, yang paling terkini adalah kasus tergulingnya presiden Kirgistan akibat tuduhan korupsi berat yang kembali melibatkan peran masyarakat kelas bawah.

Kita bisa mengatakan perubahan akan mendekati kemustahilan jika masyarakat bawah tidak mengambil ruang partisipatif didalamnya. Revolusi Islam Iran, revolusi Prancis yang membuka jalan ke arah renaissance, tidak akan terjadi tanpa melibatkan lapisan masyarakat kelas bawah, bahkan untuk konteks revcolusi Prancis, gerakan kearah revolusi justru diawali oleh kelas masyarakat bawah, yang sebagian besar berasal dari buruh perempuan Prancis yang bekerja di pabrik-pabrik industri. Kedua apaka isu tersebut bisa bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama hingga semua prasyarat perubahan tersedia, atau ia tak lebih dari berita biasa yang berumur pendek, dan akan segera tergantikan oleh isu lain yang dianggap lebih layak untuk diperbincangkan, dari sudut ini kita perlu menganalisis beberap penyebab timbul tenggelamnya sebuah isu. Pertama kita perlu mencermati proses permainan isu, sebab dari proses ini dapat ditarik benang merah kenapa sebuah isu muncul dan menenggelamkan isu sebelumnya, perlu dipahami jika pemerintah seringkali berada dibalik skema pengalihan issu. Hal itu dilakukan terutama ketika isu yang beredar luas di masyarakat dianggap mulai mengancam eksistensi kekuasaannya. Model pengalihan isu menjadi sangat rawan ketika sebuah grand issue sudah memasuki ranah politik, maka dengan segera ia akan dikomodifikasi untuk keperluan politik jangka pendek, untuk masalah ini kihta bisa berkaca pada kasus Century ( ketika Golkar mulai mengkompori kasus century dengan turut menjadikan wakil presiden RI, Boediono dan menteri keuangan, Sri Mulyani Indrawati sebagai sasaran target, maka partai Demokrat yang notabenenya partai pendukung utama pemerintah melempar isu penggelampangan pajak dengan menarget ketua umum Golkar, Abu Rizal Bakrie sebagai sasaran tembak,  jurus ini terbukti ampuh meredam kasus century). Seharusnya dalam situasi ini media kemudian mampu untuk fokus kepada sebuah isu yang dianggap bisa menjadi grand issue menuju perubahan, bukan justru ikut terbawa arus dengan isu yang dilempar oleh pemerintah. Hal ini menjadi penting karena mayoritas tanggapan masyarakat Indonesia kepada sebuah issu, masih dipengaruhi oleh pembacaan mereka terhadap berita yang berkembang di media. Berdasarkan indikator kedua di atas, kasus Century dan Cicak VS Buaya terbukti tidak tahan uji terhadap isu baru yang muncul, walaupun untuk kasus Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto kembali booming karena memasuki babak baru akibat diakabulkannya gugatan pra peradilan Anggodo,  namun dapat diprediksi isu tersebut hanya akan bertahan seumur jagung. Sebuah isu akan bertindak sebagai lokomotif perubahan jika ia bisa menyapa dan menggerakkan semua lapisan masyarakat, serta taham uji terhadap isu yang sengaja ditiupkan untuk meredamnya agar ia mampu memicu bara bagi munculnya people power.

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT