BREAKING

Jumat, 29 Maret 2013

Masyarakat Desa Sebagai Korban Permainan Citra


"Jangan macam-macam sama si anu, dia itu keturunan darah biru, punya tanah luas, orang tuanya merupakan kepala desa di kampung sini"

Uraian beberapa kalimat tersebut adalah salah satu bentuk pengekspresian kekaguman terhadap orang-orang terpandang di desa-desa, bahkan dalam kondisi-kondisi tertentu bentuk penghormatan itu menerobos dinding-dinding konsensus positif bersama, sebagai contoh anak karaeng (dalam tradisi Makassar)  ketika melakukan prilaku menyimpang maka seringkali tidak ada masyarakat yang berani menuntutnya, berbeda ketika pelanggarannya dilakukan oleh orang awam maka seketika itu pula antrian penuntut akan sergera mencecernya.

Semua kondisi ini tidak terlepas dari hirarki strata sosial mereka yang masih dijunjung tinggi sebagai salah satu ciri dari kehidupan feodalistik. Namun penulis merasa lebih senang mengkategorikan semua fenomena di atas sebagai sebuah fenomena baku yang sudah mulai terlampaui. Menurut pembacaan saya, di desa telah berkembang kultur kehidupan baru dan sedikit demi sedikit kultur baru ini mulai menggeser budaya lama yang telah berurat berakar selama beberapa generasi, akan tetapi jika diteliti secara radikal perubahan tersebut tidak terjadi secara sim sala bim, melainkan terjadi secara perlahan dan memakan waktu cukup lama, selain itu variasi-variasi kultur tidak tersubtitusi secara bersamaan, namun berganti satu per satu bahkan proses tersebut masih terjadi hingga sekarang. Jenis pergantiannya dapat diklasifikasikan kedalam dua bentuk, yaitu berganti secara parsial dan berganti secara imparsial. Jenis budaya yang keseluruhan sisinya tidak berganti kemudian digelari budaya belang-belang atau pop culture ( percampuran antara budaya asli dan budaya luar namun kehilangan substansi aslinya).

Dalam analisis cultural studies, fenomena seperti ini terjadi sebab teknik pencangkokan budaya yanga dilakukan adalah teknik hibridasi, suatu model pencangkokan budaya yang hanya mengadopsi normanya saja sementara substansi dari budaya tersebut diabaikan, padahal norma budaya selalu dibatasi oleh ruang dan waktu tempat ia hidup, kondisi lingkungan suatu masyarakat memiliki andil besar dalam membentuk norma dari masyarakat bersangkutan. Patut diingat pula bahwa kondisi lingkungan antara masyarakat satu dan masyarakat lain berbeda-beda, sehingga sangat wajar jika norma budaya bervariasi walaupun pada hakikatnya substansi tetap sama.

Sebagaimana pemaparan awal tadi, bahwa pada awalnya orang yang dianggap terpandang adalah apabila ia keturunan darah biru, punya tanah luas, dan salah satu kerabatnya adalah pejabat kampung (RT,RW, atau kepala desa) namun untuk konteks kekinian, orang yang dianggap terpandang bukan lagi menurut kriteria di atas, akan tetapi lebih didasarkan pada pencitraan langsung dihadapan mata seseorang. Sebagai contoh sederhana, kaum muda/mudi akan mempersepsi sesamanya sebagai orang hebat atau kaya ketika ia memakai pakaian yang dianggap gaul lagi trend, mereka tidak lagi peduli apakah ortunya raja tanah, apakah dia keturunan darah biru.

Sama halnya ketika ada orang yang mengendarai motor keluaran terbaru, atau mengemudikan mobil dengan plat warna hitam, maka dengan sekonyong-konyong orang akan menganggap ia sebagai individu yang strata sosialnya berada di tingkat atas, padahal boleh jadi mulai dari pakaian, motor, dan mobil tadi hanya merupakan pinjaman dari orang lain bukan milik pribadinya, serta mungkin saja ia hanya orang biasa, bahkan terlalu biasa, alias miskin, namun ia piawai dalam mencitrakan diri maka saat itu jadilah ia OKB, di sisi lain gaya baru ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kontak mata seseorang dengan beragam tampilan yang ia sakasikan dengan mata telanjang di dunia maya dan elektronik khususnya TV, sebab tidak dapat dipungkiri jadwal acara hiburan yang semakin padat pada setiap stasiun TV, memberikan kesan tertentu kapada pemirsanya. Realitas tersebut semakin diperparah dengan mutu hiburan yang sangat jauh dibawah standar, cenderung memitoskan budaya pop, dan meminggirksan budaya lokal. Dalam analisis althusserian (mengacu pada pemikiran Lois Althusser), fakta semacam itu telah berhasil mengkonstruk kesadaran baru yang kemudian oleh pemujanya dipersepsi sebagai sebuah ideologi dalam memandang fakta keduniaan, sehingga implikasi negatifnya adalah terbentuknya beragam ideologi kecil sebagai sub ideologi mapan yang sangat materialistik karena dipenuhi dengan bumbu-bumbu hedonisme.

Ideologi kecil dalam perspektif althusserian lalu menjelma dan membahasakan diri di ruang publik masyarakat desa, dalam bentuk prilaku yang terkesan individual serta selalu mengharap imbalan dalam melakukan sebuah tindakan, sebagai contoh jika dulu orang hanya memakai asas saling membantu tanpa ada motif balasan materi dalam melakukan panen padi, maka sekarang orang sudah enggan untuk melakukan hal serupa kecuali dengan imbalan materi,  karena menganggap membantu tanpa ada balas jasa tak lebih dari sebuah pekerjaan sia-sia dan memborosan waktu belaka.

Dalam konteks seperti ini maka hampir dapat dipastikan bila budaya gotong royong akan segera menemui ajal kematiannya, lalu generasi masyarakat desa yang datang belakangan hanya bisa bertutur tentang indahnya budaya gotong royong yang dahulu kala pernah menjadi tren pergaulan di lingkungannya,  sementara dirinya sendiri sama sekali tidak merasa terusik ketika berprilaku individual, maka jadilah gotong royong sebagai romantisme sejarah belaka. Jika diamati dengan pisau analisis yang lebih tajam, mak satu lagi fakta akan terungkap, bahwa tumbuh suburnya image game (permainan citra) di kampung, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh globalisasi dan lahirnya global village ,dalam kajian sosiologi kontemporer, masyarakat modern sering disebut sebagai masyarakat kode (mayarakat tanda) hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan kuat dalam komunitasnya untuk selalu melakukan usaha pencitraan diri demi mendapatkan sebuah cap stempel kekayaan, keterkenalan dan cap stempel hedonisme lainnya.

Bagi masyarakat modern yang terperangkap dalam kanal globalisasi, mencitrakan diri dalam realitas kehidupan tidak hanya wajib dipraktekkan dalam salah satu lini kehidupan, akan tetapi ia harus kita terapkan dalam segala aspek kehidupan, maka terbentuklah sebuah tatanan masyarakat yang bagi penulis sendiri lebih tepat digelari sebgai "masyarakat fatamorgana" yang senantiasa berusaha menonjolkan ke-aku-annya,  padahal apa yang berusaha untuk ditonjolkan tak lebih dari fakta-fakta palsu yang dipaksakan seolah asli.

Gempuran arus globalisasi yang begitu dahsyat, bahkan sampai menerobos ruang-ruang terdalam dari kehidupan manusia, tak pelak lagi turut memicu percepatan metamorfosis gaya hidup, termasuk gaya hidup di kampung, kondisi percepatan ini semakain dikompori dengan ketidakpahaman mereka dalam mempersepsi globalisasi secara utuh, dimana hal itu setali tiga uang dengan tingkat pendidikan masyarakat pedesaan yang masih tergolong rendah, sehingga efek negatifnya adalah ketidakmampuan mereka dalam memainkan nalar kritis guna menelanjangi sisi-sisi bejat globalisasi. Sebab bagi masyarakat pedesaan, globalisasi tak ubahnya dewa penyelamat yang mampu menaikkan strata sosial mereka, sehingga setiap orang harus mengikut kepada fatwa kaum globalis, kalau tidak, maka siap-siap saja menyandang gelar otoda (orang tempo doloe) selain itu kita juga tidak bisa berharap banyak pada generasi tunas bangsa di kampung, hampir setiap hari sekolah, otak mereka selalu dicekoki dengan diktum-diktum keagungan globalisasi oleh para guru, namun situasi semacam ini sebenarnya tidak hanya tervisualisasikan dikampung,  tetapi juga tergambar jelas di kota-kota, bahkan prakteknya terkadang lebih massif.

Dalam kondisi tragis ini, nilai-nilai kearifan local (local wisdom) tidak lagi berfungsi secara efektif sebagai filter penyaring guna mencegah terjadinya degradasi moral, karena bagaimanapun juga, merupakan sebuah keharusan untuk mengakui secara objektif,  bahwa perubahan kultur yang terjadi pada masyarakat pedesaan, juga turut berimplikasi kepada penurunan kualitas moral masyarakatnya ,dan hal sangat memprihatinkan bagi penulis adalah, adanya kecenderungan tertentu pada diri anak muda desa untuk mencap teman-temannya yang masih setia mempertahankan nilai-nilai local wisdom, dengan label anak muda kampungan atau tidak modern, padahal di tempat kelahirannya sendiri, era modern telah mulai ditinggalkan oleh penggemar fanatiknya. Mereka sudah mulai bergerak kepada suatu tahap kehidupan baru yakni era post-moderenitas,  sekalaipun istilah post-moderen masih dalam kerangka tarik ulur antara pembela dan penentang gigihnya, akan tetapi penulis menganggap pembahasan mendetail terkai post-moderen tidak pas disisipkan dihadapan pembaca sekarang.

Pada tahap tertentu, sajian realitas pencitraan diri yang lagi trend di kampung-kampung, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari fenomena lapis elit pemerintahan yang juga senang melakukan tindakan sama demi menutupi kebobrokannya. Padahal dalam pandangan masyarakat desa, lapis elit pemerintahan masih dianggap sebagai panutan yang mesti dicontoh, termasuk panutan dalam hal kesalahan, karena pada hakikatnya masyarakat desa bukanlah komunitas yang 100% buta politik, namun dalam hal-hal tertentu sebagai akibat dari keterbukaan informasi yang semakin meluas, maka dengan sendirinya masyarakat juga mengetahui kebobrokan-kebobrokan tertentu dari elit pemerintahan, yang berusaha mati-matian ditutupi lewat jalur pencitraan diri, sehingga elit pemerintahan kita hanya mampu bertindak sebagai panutan dalam hal kesalahan, yang kemudian melahirkan kemiskinan karakter dalam kultur masyarakat kita.

Rasanya tidak bijaksana ketika seorang intelegensia hanya mampu memaparkan masalah kepada khayalak ramai, tanpa bisa memberikan problem solving guna keluar dari lingkaran kesesatan, begitupun dengan artikel dihadapan pembaca, ketika ia tidak bisa memberikan tawaran solusi maka penulis jugalah yang harus bertanggungjawab di kemudian hari (tapi perlu diingat bahwa penulis hanyalah budak tuhan, bukan nabi maksum).

Menurut hemat saya, inilah saat tepat bagi generasi muda desa yang belajar di kota, dan memang merasa tercerahkan, untuk melakukan social enggeneering di kampungnya masing-masing, golongan ini memilki pisau analisis yang tajam sehingga bisa menganalisa secara cermat perubahan kondisi di kampung,  apalagi dengan melihat tingkat persentase organisasi ekstra kampus yang notabenenya berbasis pencerahan, dimana tingkat persentase anggotanaya kebanyakan berasal dari daerah, penulis sama sekali tidak punya niat untuk mengabaikan peran organisasi intra kampus dalam memproduksi insan-insan tercerahkan, namun sebagaimana telah menjadi rahasia umum, organisasi intra kampus seringkali dijadikan ladang pertarungan untuk mencari keuntungan pragmatis dan kekuasaan belaka.

Perekayasaan sosial di desa yang nantinya harus dimotori oleh kaum muda terdidik,  bisa diawali dengan pembuatan simpul kekuatan diantara sesama kaum muda dengan terlebih dahulu melakukan silaturrahim gagasan diantra kaum muda sendiri, karena sebagaimana jamak dipahami bahwa kaum muda yang pernah menelan asam garam dunia ekstra kampus, memilki platform pemikiran tersendiri yang berbeda satu sama lain, dari segi sisi positif perbedaaa gagasan seharusnya tidak dianggap sebagai batu sandungan, akan tetapi ia seharusnya dilihat sebagai kekayaan khazanah gagasan yang sangat potensial untuk dipraktikkan pada tataran riil.

Silaturrahim gagasan juga bukan dimaksudkan untuk meyeragamkan pandangan sampai pada tahap paling detail, namun paling tidak dari proses ini, simpul kekuatan kaum muda mampu mencapai kemiripan pandangan pada tataran nilai dan tindakan universal. Langkah selanjutnya yang mesti diperhatikan yakni kemampuan kita untuk merangkul masyarakat setempat, guna bersama-sama berjuang ke arah perubahan, khusussnya kelompok pemuda desa, langkah ini tidak bermaksud untuk menspesialkan kelompok tertentu dari kelompok lain,  tetapi hal terpenting yang wajib dipahami bersama adalah setiap perubahan selalu membutuhkan semangat dan emosi, dan setiap perubahan juga membutuhkan pengawalan untuk menjaga agar perubahan yang telah terjadi nantinya, tidak kembali mengalami kemunduran, lalu akhirnya terperosok kedalam kubangan kejumudan, namun tetap harus ditekankan bahwa,  upaya merangkul segenap lapisan masyrakat baik tua maupun muda, marupakan bentuk keharusan yang mesti dilakukan, karena mereka semua memiliki fungsi dalam instrumen perubahan, jangan sampai kalangan pemuda desa yang pernah mengenyam pendidikan di universitas, kembali terjebak pada ruang eksklusifisme gerakan, dengan menjadikan komunitas mereka sebagai menara gading perubahan yang tidak pernah bersentuhan dengan masyarakat. Untuk melakukan sebuah perubahan maka stake holder yang dibutuhkan, bukan hanya mahasiswa, melainkan semua golongan masyarakat, adapun kaum muda tercerahkan berfungsi untuk menyemai benih perubahan dengan melakukan penyadaran kepada masyarakat,  agar mereka mampu memahami realitas yang sesungguhnya lalu keluar dari kebungkaman yang selama ini mendikte mereka.

Akan tetapi, dalam perspektif penulis, ada satu problem pengganjal yang seakan telah terprakondisikan sehingga proyek pencerahan di kampung yang seyogyanya di motori oleh kaum muda yang kuliah didaerah perkotaan, belum berjalan secara maksimal hingga sekarang, problem itu adalah kecenderungan bagi sebagian tunas harapan daerah untuk menetap di kota sehabis menyelesaikan studi, bukannya pulang ke daerahnya guna melakukan rekayasa sosial, tinggal dan menetap sesuai maksud penulis adalah mereka yang menetap di kota dan tidak memperhatikan lagi kondisi kampungnya, lain halnya dengan mereka yang menetap di kota namun tetap memperhatikan kondisi daerahnya yang jauh, serta tetap melakukan usaha konkrit guna merekayasa kondisi daerah menuju masyarakat mutamaddin.

Asumsi ini selain dipengaruhi oleh faktor prestise, sebagaimana masyarakat desa sering menganggap jika orang yang tinggal di kota lebih tinggi prestasi sosialnya dibandingkan dengan mereka yang tinggal di desa, juga dipengaruhi oleh pandangan bahwa perubahan selamanya berasal dari atas ke bawah, kota digambarkan sebagai simbol atas sementara desa dilukiskan sebagai simbol bawah, mereka jarang berpikir bahwa potensi masyarat bawah sangat tepat untuk dijadikan sebagai starting point dalam mengawali sebuah perubahan.

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT