BREAKING

Jumat, 29 Maret 2013

Merajut Mimpi Tentang Perubahan


Pergeseran waktu secara ekstrim telah melahirkan dinamika sosial yang sangat kompleks, seringkali dinamika sosial beriringan dengan gejolak sosial dalam suhu panas. Sepanjang sejarah pergolakan manusia dengan habitus, lahir berbagai macam respon manusia dalam menyikapi fenomena sosial hidupnya. Rusia telah mengeksperimenkan revolusi bolshevik sebagai bentuk respon massif terhadap kekaisaran Tzar yang sibuk mensejahterakan lingkaran kaisar dan memperlebar jarak dari rakyat, karena kecongkakan raja Lois maka rakyat Prancis berbondong – bondong menyerbu penjara bastille dan istana raja lalu mengakhiri kekuasaan raja di tiang pancung, Soeharto yang terlena kekuasaan sehingga menjalankan prinsip otoritarianisme akhirnya harus merelakan kekuasaannya dijungkalkan oleh gerakan mahasiswa bersama rakyat. Serangkaian respon tersebut muncul sebagai reaksi penyelenggara pemerintahan yang sudah enggan mendengar dan memperhatikan suara perih rakyatnya.

Dalam kerangka ideal, rentetan kejadian besar yang menampilkan diri di panggung realitas publik dan berhasil mengotak–atik kemapanan struktur hingga menjungkalkan para penguasa tiran, seharusnya mampu menjadi pelajaran tersendiri bagi penyelenggara pemerintahan dalam mengemban amanah rakyat, namun nafsu kekuasaan pada level tertentu mampu mendikte aparatus negara sehingga alih–alih menyimak keluh kesah masyarakatnya,  mereka justru sibuk menyusun taktik baru demi memapankan kekuasaan, aparatus negara kemudian menciptakan beragam mitos pengabdian terhadap negara dalam konsep desain yang telah mereka rancang menurut kepentingannya, media kritis dibredel (atau paling tidak melemahkan media tersebut lalu membangun raksasa media yang selalu siap menyanjung pemerintah), setiap kritik dari rakyat senantiasa diasosiasikan dengan tindakan subversif yang mengancam kestabilan negara,  sebab kunci utama dalam memapankan kekuasaan adalah lewat penumbuhan mitos kesakralan terhadap penguasa, akibatnya penyelenggara negara yang berubah menjadi penyelenggara kekuasaan dipersepsi seakan-akan sebagai manusia suci yang tidak layak tersentuh oleh kritik apapun. Pada titik ini, negara dibawah kendali penguasa terlihat sukses menjaga stabilitas kekuasaan, kalaupun ada riak–riak maka itu hanya terjadi dalam lingkup yang kecil dan tidak bertahan lama, aparatus negara selalu bersikap sigap untuk meredam setiap protes secara lembut atau keras. 

Dengan dalih untuk memapankan kekuasaan, maka kelompok lingkaran sistem tidak segan memperlihatkan penanganan yang brutal, kejam, dan sadis dalam membereskan apa yang mereka sebut sebagai pembangkang, tujuannya tak lain adalah untuk memberikan efek jera kepada masyarakat lain agar tidak melakukan tindakan perlawanan terhadap rezim. Sepertinya diktator penguasa memang tidak pernah berguru kepada pendahulu–pendahulu para diktator, yang dengan segala cara berusaha mati–matian mempertahankan singgasana kekuasaannya, namun akhirnya runtuh juga oleh gelombang kemarahan rakyat, sehingga mereka masih berkeyakinan bahwa tindakan represif merupakan cara paling ampuh untuk melibas setiap kritik, padahal tanpa mereka sadari ( atau berusaha untuk tidak menyadarinya) perlakuan represif bukannya efektif membungkam protes,  justru tindakan tersebut hanya akan melahirkan akumulasi kekecewaan, kejengkelan, kebencian dan kemarahan yang setiap waktu semakin menggumpal hingga mencapai stadium tertentu dimana ia tidak lagi mampu dihentikan dengan model tekanan apapun, termasuk tekanan senjata, sebab dalam situasi ini bukan lagi senjata yang menodong kemarahan, akan tetapi kemarahan itulah yang berbalik menodong dan menundukkan senjata, lalu mengarahkan kepada sang diktator agar ia lengser dari kekuasaannya.

Dinamika politik timur tengah yang akhir–akhir ini kian memanas merupakan pertanda paling up to date jika penyelenggara pemerintahan, yang kemudian menjelma menjadi penyelenggara kekuasaan, tidak pernah mampu mempermanenkan jejaring kekuasaannya dengan cara apapun juga. Terjungkalnya Husni Mubarak dari kursi kepresidenan Mesir dan tergulingnya presiden Tunisia lewat perlawanan revolusi yang dilancarkan rakyat kedua negara, seakan menyentakkan kesadaran kita dari tidur panjang yang selama ini kita lalui, bahwa revolusi bukan sekedar kata utopis yang hanya bisa eksis di alam mimpi, namun ia juga bisa merealitaskan diri dalam dunia masyarakat post industrial (jika pembaca sepakat menggunakan terma ini), bahkan revolusi Tunisia dan Mesir ternyata mampu menebarkan virus ke negara Timur Tengah, Afrika sampai Asia, sehingga Bahrain, Yaman, Libya, Vietnam Juga turut bergejolak,  walaupun untuk Vietnam masih dalam skala yang sangat kecil serta belum terlalu terekspresikan oleh media, namun yang penting untuk dicatat adalah, gejolak yang terjadi di negara–negara tersebut tidak terlepas dari keberhasilan revolusi Tunisia dan Mesir. Dalam sudut pandang lain,  kita tetap perlu kritis dalam mengkonsumsi pemberitaan media yang cenderung bias, karena berita yang mereka publikasikan ke audiens, merupakan info jiplakan dari media lain yang memiliki tendensi pilitik kuat terhadap barat, semisal berita tentang kondisi Bahrain yang disalahtafsirkan sebagai ketidaksukaan komunitas sunni terhadap syiah,  padahal dalam kondisi yang sebenarnya, aksi demonstrasi besar–besaran tersebut dilatarbelakangi oleh kebencian rakyat terhadap penguasa Bahrain, bukan tendensi mazhab sebagaimana yang selama ini decekoki ke dalam pikiran kita.

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT