BREAKING

Jumat, 29 Maret 2013

Kongres HMI: Antara Tawaran Konsep dan Transaksi Politik


ZAENAL ABIDIN RIAM (Enal Riam)
KETUA Korp Pengader (KP) HMI MPO Cabang Makassar
Salah satu indikator kemapanan dari sebuah organisasi adalah ketika ia mampu mewarnai dinamika gerak sosial, sebuah organisasi besar tidak hanya diukur dari seberapa banyak kuantitas anggotanya sebab dalam ritme gerak sejarah terdapat berbagai perubahan dalam skala makro yang dimotori oleh creative minority, creative minority tersebut mampu menyusun seperangkat konsep perubahan lalu mempropagandakannya kepada publik hingga pengaruhnya mampu menarik simpati massa yang bersedia bergerak diatas garis perjuangan yang telah mereka pra kondisikan.
HMI sebagai sebuah organisasi besar yang telah mewarnai panggung sejarah keindonesiaan tentunya harus selalu berusaha dan membuktikan diri bahwa ia memang layak memiliki nama besar, indikator dalam mengukur “nama besar” tersebut dapat dilihat dari sejauh mana peran yang dimainkan dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan, namun HMI tidak mungkin bisa menjalankan peran keumatan dan kebengsaan jika ia tidak memilki konsep yang ingin diperankan dalam ruang empiris. Sepatutnya konsep tersebut mampu merepresentasikan HMI secara utuh mulai tingkat PB, Cabang, sampai Komisariat. Hal itu mengindikasikan bahwa diperlukan sebuah forum akbar sebagai tempat perancangan konsep yang melibatkan seluruh unsur perwakilan cabang Se Indonesia yang dalam konteks HMI diistilahkan dengan sebutan kongres.
Kongres sebagai ajang pertemuan dua tahunan antara perwakilan cabang Se Indonesia seharusnya mampu dijadikan momen silaturrahim gagasan secara akbar, untuk mewujudkan situasi ideal ini maka dibutuhkan kesiapan tawaran konsepsional dari setiap cabang, hal itu mengharuskan cabang – cabang agar melakukan pengkajian serius terhadap draft – draft kongres sebab hasil pengkajian tersebut yang akan menyemarakkan dialektika opini di ruang kongres, tentunya pengkajian yang dimaksudkan tidak berangkat dari pembahasan prematur terhadap draft kongres karena perlakuan semacam ini seolah – olah memperjelas bahwa kita menganggap jika pengkajian draft kongres yang tertuang dalam konstitusi hanya sebagai formalitas belaka padahal segala sesuatu yang berangkat dari asumsi formalistik hanya akan melahirka tawaran – tawaran konsepsional yang tidak tahan uji, olehnya itu dibutuhkan sebuah model pengkajian matang yang senantiasa memperhatikan realitas konteks kekinian dan masa depan dalam mengkonstruk ide – ide kreatif yang layak ditawarkan di forum kongres. Kita tetap tidak bisa memungkiri bahwa kongres selain bertindak sebagai forum perbenturan opini juga memiliki dimensi politik, khususnya terkait dengan perebutan kursi 01 HMI. HMI memang tidak perlu tabu dengan politik, karena politik tidak selamanya bermakana negatif bahkan dalam konteks tertentu HMI harus pandai memainkan peran politik nilai, akan tetapi dinamika politik ini bisa berujung negatif ketika ia terlalu banyak menguras energi, dalam artian bahwa energi sebagian besar cabang lebih banyak terkuras untuk mengurusi kemelut politik di forum kongres, ada berbagai macam motif, mulai dari cabang – cabang yang ingin mencari dan mempertahankan borgaining position hingga kesetiaan untuk mempertahankan paradigma lama bahwa keberhasilan organisasi selalu ditentukan oleh keberhasilan kita menempatkan kader di pucuk struktur pimpinan. Dalam persepsi penulis, magnet politik kongres memang masih lebih digdaya dibandingkan aspek lain yang juga melingkupi kongres, salah satu indikatornya adalah bisik – bisik tetangga diantara sesama cabang sudah berhembus jauh sebelum agenda kongres digelar namun ironisnya karena perdebatan tentang tawaran konsepsional masih adem ayem di waktu – waktu itu, bahkan saat kongres sudah didepan mata masih banyak cabang yang belum menuntaskan tawaran konsepsionalnya. Penulis tak bermaksud mengasosiasikan politik internal sebagai sesuatu yang merusak sehingga harus ditinggalkan, justru ia merupakan salah satu elemen yang tidak mungkin terpisahkan, disisi lain kita juga harus bisa memafhumi rasa ketidakadilan yang dialami oleh cabang tertentu terkadang menyebabkan mereka untuk memilih jalur politik internal sebagai alternatif solusi, akan tetapi yang terpenting untuk ditekankan adalah kita tidak boleh terjatuh kepada keasyikan politik internal HMI lalu mengesampingkan amunisi konsepsional, sebab jika HMI masih bersikukuh dalam mempertahankan perannya dalam konteks kebangsaan dan keumatan maka ia harus memiliki konsep yang siap ditawarkan dan dioperasionalkan.

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT