BREAKING

Jumat, 29 Maret 2013

Paradoks Reformasi

18 tahun lalu jantung ibukota dilanda gelombang protes besar – besaran, ribuan mahasiswa bersama rakyat tumpah ruah ke jalan meneriakkan slogan – slogan anti Soeharto, ganyang rezim orde baru. Gedung DPR/MPR yang selama ini dianggap sebagai lambang pemapanan ketidakadilan lewat undang – undang hasil godokan para legislator yang sarat tendensi kepentingan terhadap penguasa, diduduki oleh para mahasiswa dari berbagai elemen. Disisi lain, kerja intelijen mulai beroperasi dengan merekayasa aksi mahasiswa ke arah aksi – aksi destruktif lewat tindakan – tindakan rasis terhadap etnis tionghoa dengan menjarah dan membakar toko – toko mereka. 

Celakanya karena tindakan manipulasi tersebut juga menghiasi pemberitaan media sambil berjalan beriringan dengan suara protes nurani yang disuarakan oleh para mahasiswa, dalam skala tertentu tindakan manipulatif intelijen mampu mempengaruhi sebagian masyarakat untuk mengubah fokus aksi mereka dari kebencian terhadap Soeharto dengan rezim orde barunya menuju sikap intimidatif terhadap etnis tionghoa, beruntung karena rancangan rekayasa intelijen tidak berhasil mematahkan gelombang reformasi yang saat itu menjadi jargon paling kuat dalam dunia gerakan, kondisi ini serasa tidak sukar diterima sebab selama tiga puluh dua tahun berkuasa dengan cara represif (termasuk mengambilalih kekuasaan dengan cara represif pula) maka sepanjang periode itu Soeharto telah menyulap diri dan rezimnya sebagai common enemy paling mematikan, sehingga wajar jika pemberitaan media di tahun 1998 cenderung berpihak kepada gerakan mahasiswa sebab media juga butuh keluar dari sangkar keterkungkungan yang kala itu memasung kebebasan berekspresi media. 

Berbagai dinamika yang melingkupi era 98 semuanya bertemu pada sebuah titik “kebencian” terhadap Soeharto dengan rezim orde barunya, situasi ini membuat soeharto semakin terjepit ke pojok kekuasaan sehingga walhasil semua upaya yang dikerahkan untuk mempertahankan rezim hanya berakhir sia – sia. Disadari ataupun tidak, setiap kekuasaan yang didirikan diatas puing – puing penindasan selalu saja melakukan tindakan kontradiksi internal dalam melanggengkan arus kekuasaan, dengan ungkapan lain bahwa sehebat apapun sebuah rezim dipertahankan lewat mekanisme pembungkaman namun justru pembungkaman itulah yang menjadi salah satu pemantik untuk menjungkalkan rezim kekuasaan tersebut,demikian pula nasib yang menimpa Soeharto dan rezim orde baru, pembungkaman yang semula dimaksudkan untuk mempertahankan aparatus penguasa justru menjadi salah satu elemen penting yang turut menjungkalkan kekuasaan orde baru.

Lebih jauh kita patut bertanya, apakah tergulingkannya Soeharto dan keruntuhan rezim orde baru merupakan “kartu as” yang mampu mengeluarkan kita dari lingkaran ketidakadilan yang mendera bangsa ini selama tiga puluh dua tahun, bahkan lebih radikal kita bisa berujar, apakah memang benar sistem orde baru telah runtuh? Atau ia seakan hanya berganti kulit dengan substansi sama. Nama bisa saja berubah bahkan sebagian orang tidak mau ambil pusing dengan perubahan nama itu akan tetapi model operasional pemerintahan masih mengidap bakteri – bakteri jahat warisan orde baru karena kebencian kita terlalu terfokus kepada pribadi ‘soeharto” seorang seakan dia bekerja sendiri dalam mengendalikan mesin ketidakadilan tersebut padahal ia dikelilingi oleh kroni - kroninya yang mungkin saja jauh lebih agresif dari Soeharto, maka ibarat jamur, kita hanya memotong bagian atas jamur tersebut tanpa mencabut akarnya padahal akar tersebut bisa sewaktu – waktu tumbuh. 

Kondisi seperti itulah yang terjadi sekarang, dimana sisa – sisa akar jamur orde baru kembali tumbuh subur dan menyusup ke lingkaran elit pemerintahan lalu membajak pemerintahan berdasarkan kepentingan masing – masing. Karena terlalu fokus untuk menumbangkan Soeharto tanpa merubah sistem ditambah lagi sebagian elemen gerakan memang tidak mempunyai tawaran sistem yang benar – benar baru bahkan beberapa diantara mereka hanya sampai pada loncatan pemikiran untuk menambal sistem, sehingga konsekuensinya adalah banyak kroni – kroni orde baru yang berhasil lepas dari jeratan gelombang reformasi, mereka kemudian mencuci tangan lalu menampakkan diri sebagai orang yang seolah – olah bersih/suci, demi menghindari kecurigaan publik mereka juga berlagak sebagai pengkritik rezim orde baru padahal komunitas inilah yang turut bertanggungjawab atas penindasan struktural yang dipentaskan dalam kurun waktu tiga puluh dua tahun di bumi pertiwi.  
Dalam bentuk konkrit kita bisa melihat warisan orde baru di berbagai bidang, mulai dari ekonomi sampai politik, di bidang ekonomi terdapat beberapa perusahaan maupun anak perusahaan swasta yang dulunya aktif memberikan sokongan finansial atau membayar upeti kepada rezim demi memperluas ekspansi kerajaan bisnisnya dan mengeruk sumber daya alam Indonesia ternyata masih mampu bertahan hingga sekarang, beberapa perusahaan tersebut dimiliki oleh swasta asing atau swasta nasional namun sebagian juga dikendalikan oleh kroni – kroni orde baru, pada tingkatan tertentu mereka justru bermesraan dengan aparatus pemerintah demi melicinkan transaksi kepentingan. Di bidang politik, hingga saat ini kita masih bisa memandangi dengan baik beberapa elit politik yang juga telah menorehkan dosa politik karena merupakan bagian dari lingkaran sistem orde baru masih bisa bertahan dan memainkan peran krusial di tataran politik elit, begitupun dengan partai yang dulunya bertindak sebagai mesin politik orde baru juga masih bisa bertahan bahkan menjadi besar dan turut mengontrol dinamika perpolitikan Indonesia, seharusnya semua elemen tersebut terlebih dahulu dibubarkan atau dikeluarkan dari lingkaran sistem pemerintahan lalu kita membangun sistem baru yang benar – benar bersih dari orang atau kelompok yang masih mengidap sindrom “rindu orde baru” serta memiliki visi misi kerakyatan utuh, sebab jika tidak maka tidak layak juga bagi generasi Indonesia untuk menganggap tanggal 21 Mei sebagai hari reformasi karena dalam realitas empiris yang terjadi bukanlah “reformasi” tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah momen “repot tnasi”.

Reformasi berubah muka menjadi “repot nasi”, repot nasi karena sebagian penyelenggara pemerintahan adalah orang – orang yang diproduk dalam rahim kepentingan orde baru sehingga nalar dan tindakan mereka masih mengikuti pola – pola orde baru walaupun mengambil model penampakan lain akan tetapi tetap saja sindrom pemikiran masa lalu menyelinap kedalam alam pemikiran mereka, maka sangat wajar jika kelompok ini mengutak – atik jagad politik karena ingin menyelamatkan kepentingannya, bukan demi mensejahterakan rakyat sehingga rakyat kemudian didera bencana, “ repot nasi”, “repot sembako”, ‘repot listrik”, “repot BBM” dan repot – repot lainnya. Semakin canggih mereka bermanuver di bidang politik ekonomi maka masyarakat juga akan semakin banyak menjumpai kerepotan – kerepotan baru yang sebelumnya tidak terbayang di benak mereka, pemberitaan di media – media sangat jelas merekam masalah kontradiksi ini, publikasi yang dilakukan oleh sekelompok LSM dengan memamerkan kehidupan hedon dan glamor anak – anak pejabat kemudian dipersandingkan dengan foto – foto kehidupan rakyat melarat semakin memperjelas jurang ketimpangan ini .

di lain sisi, kita harus mampu melakukan serangkaian pembacaan kritis terhadap keberlangsungan reformasi, reformasi sebagai sebuah model perubahan sosial membutuhkan alat kelengkapan dalam menunjang proses kesempurnaan perubahannya, perangkat kelengkapan tersebut merupakan prasyarat yang mesti terpenuhi, sebab jika tidak maka boleh jadi reformasi hanya menampakkan diri secara sepotong – sepotong atau bahkan yang terjadi bukanlah reformasi tetapi lawan dari reformasi. Jika kita mampu sampai pada tingkatan analisis ini maka barulah kita bisa manilai keberlangsungan reformasi secar objektif yang oleh sebagian penggiat reformasi dianggap semakin menjauh dari substansi awalnya. Momen reformasi yang meletus di tahun 1998 digerakkan oleh berbagai elemen termasuk kalangan mahasiswa dan masyarakat, kedua kelompok sosial ini (mahasiswa dan masyarakat) merupakan kelompok yang pro terhadap reformasi tanpa disertai kepentingan politik apapun selain impian akan perubahan, namun disisi lain kita jarang menganalisis secara cermat bahwa ternyata reformasi juga digerakkan oleh kelompok yang tidak pro reformasi, lebih jauh kelompok kontra reformasi melakukan penunggangan terhadap kelompok pro reformasi dalam bentuk memaksa merekayasa lahirnya reformasi 1998 sehingga lahirlah reformasi prematur, sebuah model reformasi yang sebenarnya belum siap tetapi dipaksakan untuk lahir saat itu juga, maka jadilah reformasi 1998 sebagai reformasi yang kebablasan tanpa disertai tawaran konsepsional yang jelas. 

Memang agak terkesan aneh ketika kelompok kontra reformasi mendinamisir munculnya reformasi akan tetapi yang perlu dicatat bahwa mereka bergerak atas motif kepentingan politik ekonominya yang mulai terancam oleh rezim orde baru, kelompok kontra reformasi tidak hanya didalangi oleh orang dalam Indonesia justru dalang utamanya adalah pihak luar Indonesia terutama AS. AS melalui agen intelijen CIA telah memaksakan lahirnya reformasi 98, rekayasa yang mereka lakukan dalam bentuk membocorkan informasi – informasi rahasia terkait kejahatan – kejahatan kelas kakap orde baru kepada publik, publik yang tidak kritis dengan serta – merta menelan informasi bajakan tersebut tanpa mereka sadari bahwa dibalik informasi tersebut terdapat kepentingan politik ekonomi dari negara adidaya, gejala ini bukan tidak terbaca oleh sebagian aktifis pergerakan, hanya saja informasi bajakan CIA telah terlanjur membentuk opini publik bahkan sebagian aktifis pergarakan juga hanya mampu mengakses data – data penting tentang kebobrokan orde baru melalui informasi yang dibocorkan oleh CIA. Secara akal sehat, tentunya CIA hanya membocorkan informasi – informasi rahasia terkait kepentingan politik ekonomi Amerika Serikat di Indonesia dan tetap menutup rapat – rapat informasi diluar kepentingan politik ekonomi AS. Kalau boleh berandai – andai maka dalam perandaian penulis “seandainya kita bisa lebih sabar dan cermat dalam menganalisa gejolak sosial di tahun 1998 maka mungkin bukan reformasi yang terjadi tetapi revolusi yang akan menampilkan diri di pentas perubahan walaupun kita harus menunggu sampai beberapa tahun sesudahnya namun karena ketidaksabaran dan keteledoran maka alih – alih menikmati “revolusi” kita justru disuguhi hidangan “repot nasi”.

Rangkaian dinamika yang melingkupi momen reformasi 1998 sepatutnya menjadi pelajaran berharga bagi para aktifis dan calon aktifis pergerakan di masa yang akan datang, bahwa dibutuhkan kecermatan dan ketepatan dalam mendiagnosa perubahan terlebih lagi jika ia berskala besar. Dalam pandangan penulis, paling tidak ada dua alternatif yang bisa disodorkan dalam merespon dinamika pergerakan kekinian. Pertama, kita yakin bahwa reformasi masih bisa diandalkan sebagai elan vital dari sebuah model perubahan yang masih sementara mentransformasikan diri atau lebih cenderung pada alternatif kedua yakni mesti terjadi satu kali lagi revolusi total yang tidak hanya mengganti orang tetapi juga mengganti sistem secara menyeluruh, opsi pertama terkesan moderat dan walaupun telah dimulai namun memakan waktu lama untuk menuntaskan prosesnya sedangkan alternatif kedua terkesan lebih radikal dan memang butuh penantian panjang untuk menunggu hari – hari kemunculannya namun ia mampu mendatangkan perubahan total disegala bidang. Tawaran pertama berpotensi terhenti ditengah jalan karena ‘dibajak” oleh kepentingan tertentu sedangkan alternatif kedua bisa berubah 180 % dari bentuk aslinya karena kedatangannya justru “dikhianati” (revolusi yang dikhianati).

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT