BREAKING

Kamis, 04 April 2013

Islam, Politik, Dan Media Massa



Antara politik, agama dan media massa merupakan tiga entitas yang saling terkait satu sama lain, benar bahwa ketiganya saling berdiri sendiri namun ketiganya  juga bergumul dalam ruang sosial yang sama, perjumpaan ketiganya dalam ruang sosial yang sama menyebabkan kita mengalami kesukaran dalam menarik batas jelas antara satu dan yang lain, bahkan mereka lebih sering bercampur satu sama lain. Lebih jauh pembauran islam, politik, dan media sering merambah hingga memasuki ruang linguistik, sehingga ketiga kata tersebut sering dipertautkan dalam satu istilah, jadi kita tidak perlu heran jika mendengar istilah: islam politik, politik islam, politik media, media islam. Sepintas pembentukan kata–kata tersebut terkesan terjadi begitu saja dalam balutan kesepakatan, tetapi bila dianalisa lebih jauh, maka kita akan menyadari bahwa pembauran kata tersebut merupakan refleksi bahwa antara islam, politik, dan media merupakan fenomena tiga dalam satu, tiga kesatuan yang hampir setiap waktu bersinggungan dalam ruang sosial yang sama.

Ketika diperhadapkan dengan realitas empirik menjelang pintu gerbang Pilkada Sulawesi Selatan 2013, maka garis demarkasi antara islam, politik dan media menjadi semakin tumpang tindih, dalam kondisi ini politik terkadang terlihat arogan, berusaha memaksakan diri untuk bertindak menjadi panglima bagi islam (agama) dan media lewat mekanisme infiltrasi, konsekuensi logis dari infiltrasi politik terhadap islam adalah lahirnya kecenderungan penggunaan dalil tertentu untuk mengabsahkan tujuan politik jangka pendek, bahkan tidak urung sebagian ulama yang dianggap kompoten dalam urusan agama juga terkadang melakukan pembenaran politik jangka pendek lewat jargon fatwa keagamaan. Tanpa bermaksud menyudutkan, nasib media terkadang tidak berbeda jauh dengan agama, ketika politik mulai menyusup ke ruang paling privat dari media, maka imunitas media menurun drastis, dampaknya adalah pilar independensi yang merupakan penopang utama, justru gampang remuk diterjang badai politik yang cenderung hegemonik, dalam kondisi ini kita kemudian sering menjumpai keberpihakan media secara terselubung terhadap kubu kepentingan politik praktis tertentu, benar bahwa media mesti berpihak namun keberpihakan media hanya bisa diarahkan pada fakta kebenaran, bukan pada kepentingan politik jangka pendek.
            
Untuk membangun nalar dialogis antara media, islam dan politik, maka syarat pertama yang mesti muncul adalah adanya kepastian bahwa ketiga domain tersebut berada pada posisi yang seimbang, tanpa ada domain tertentu yang berusaha menganeksasi domain yang lain, secara ideal dalam situasi sekarang (menjelang pilgub) maka, domain islam (secara umum agama) dan media seharusnya mampu menjadi kekuatan pengontrol terhadap potensi banalitas yang setiap waktu bisa membungkus wajah politik, ketika hal tersebut dapat terwujud maka, akan terbuka ruang bagi timbulnya nuansa politik santun di alam jagad politik, selanjutnya politik santun akan mendorong lahir dan menguatnya basis nilai etika yang bisa memandu politik ke jalan yang lebih mencerdaskan. Menjadikan islam dan media sebagai pengontrol politik, bukan berarti ingin mempreteli wilayah politik, namun hanya berusaha menggiring hubungan ketiganya dalam kerangka mutualisme tanpa ada unsur dominasi di dalamnya.  
            
Relasi antara islam dan politik terbangun dari suatu pemahaman bahwa islam bagi pemeluknya bersifat multidimensi, dalam artian bahwa islam sebagai pegangan hidup harus memasuki seluruh dimensi kehidupan pemeluknya, islam mesti bertindak sebagai panglima dalam setiap aspek kehidupan tersebut, pada posisi ini kita bisa memahami relasi yang tak terhindarkan antara islam dan politik. Menurut hemat penulis relasi antara islam dan politik terlihat tabu tatkala kita mempersempit makna politik pada wilayah praktis belaka, secara alamiah relasi keduanya tidak bersifat asing, karena politik dalam artian yang luas merupakan sebuah seni untuk mengatur kehidupan, sehingga hampir semua ruang kehidupan individu terlingkupi oleh dimensi politik secara nilai. Patut diakui bahwa islam dalam kaitannya dengan politik praktis akan mendatangkan persoalan dilematis tersendiri, persoalan tersebut akan muncul disebabkan oleh jargon agama yang rawan terseret masuk ke dalam dunia politik praktis, atau dalam penjelasan lain kita bisa mendeskripsikan bahwa ketika islam memantapkan diri untuk masuk ke dalam gelanggang politik praktis, maka penggunaan bahasa agama untuk mengabsahkan aliran politik tertentu menjadi sangat sukar terhindarkan, justru ia akan menjadi pemandangan yang lazim.
            
Penegasan bahwa jargon agama rentan digunakan untuk mengabsahkan aliran politik tertentu dalam domain politik praktis, sama sekali tidak bermaksud menutup ruang bagi islam untuk melanglang buana dalam dunia politik praktis, pada dasarnya pertalian antara islam dan politik merupakan hal yang imanen, karena islam sebagai sebuah ajaran tidak hanya berbicara tentang hubungan antara hamba dan khaliknya, akan tetapi lebih dari itu, islam juga berbicara tentang kehidupan dalam nuansa multidimensi, termasuk dimensi politik di dalamnya, akar pandangan tersebut dapat dilacak dalam al quran yang merupakan referensi utama bagi seorang muslim dalam memutuskan pandangan hidupnya (terlepas dari berbagai macam perdebatan yang mengiringinya).
            
di Sisi lain mesti terdapat kecerdasan untuk menilai islam politik secara proporsional dan objektif, kecerdasan ini dibutuhkan agar kita tidak gampang menilai islam dalam bingkai yang negatif, khususnya ketika muncul isu yang merugikan islam secara politik, perlakuan negatif tersebut hanya muncul dari oknum pelaku politik islam, bukan dari muatan ajaran islam itu sendiri, islam sebagai ajaran pasti menekankan penerapan nilai luhur dalam setiap aspek kehidupan termasuk ranah politik, sehingga dalam konteks ini maka yang seharusnya dikoreksi adalah agen yang menjadi pelaku politik praktis, walapun kita juga tidak bisa menafikan bahwa pelaku dan ajaran sebagai sebuah sistem pola pikir memiliki kaitan yang sangat erat, namun tetap saja hal tersebut tidak layak dijadikan sebagai bahan mentah untuk menyudutkan islam di kancah politik. Kekhawatiarn bahwa sakralitas islam akan ternoda tatkala memasuki ruang politik praktis, berangkat dari sebuah pandangan tentang islam yang suci  (islam wahyu, islam dalam bentuk paling murni yang belum terpengaruh oleh penafsiran manusia) dan diyakini tidak boleh tersentuh oleh noda politik, idealnya kekhawatiran tersebut tidak perlu muncul karena islam yang bergelut dalam ranah politik praktis adalah islam dalam bentuk ideologi, yang sudah barang tentu mendapat campur tangan penafsiran manusia, islam profan (tidak sakral lagi).
            
Sementara relasi antara politik dan media massa merupakan keniscayaan lain yang tak bisa terhindarkan dalam ruang kehidupan masyarakat modern, politik membutuhkan media untuk meneguhkan popularitas dan hegemoni aliran politiknya, sedangkan media membutuhkan isu-isu yang hangat dalam ranah politik untuk dijadikan bahan pemberitaan komersil demi menjaga daya tawar pemberitaan di tengah publik, media sangat sukar menghindarkan diri dari aspek komersil karena hidup media berada di antara idealisme dan komersialisme, pada posisi ini independensi media seringkali dipertanyakan. Pertalian antara politik dan media massa menjadi semakin rumit karena beberapa petinggi media tertentu, telah meneguhkan diri dalam ranah politik praktis dengan menunggangi kendaraan politik tertentu, sudah barang tentu petinggi media bersangkutan akan jauh lebih leluasa mengkampanyekan aliran politiknya lewat media yang ia kuasai, hal ini tentu berbeda dengan politisi minus media yang mesti merogoh kocek lebih demi mendapatkan ruang kampanye di media, kemampuan media dalam membentuk opini publik menjadi daya tarik tersendiri bagi para politisi untuk mencitrakan dirinya sebagai figur yang baik, dalam kerangka ideal, media yang bertindak sebagai salah satu pilar demokrasi, semestinya mampu menjadikan diri sebagai wadah pendidikan politik bagi masyarakat, wadah pendidikan politik tersebut akan terwujud saat media mampu menampilkan berita kritis, proporsional,  mencerahkan dan jauh dari kesan pesanan politik tertentu. Kita tidak bisa memungkiri bahwa setiap kali mendekati ajang kontestasi politik, maka saat itu juga selalu muncul stigma dari kalangan publik tertentu bahwa media si ini berpihak ke sini dan media si itu berpihak ke situ, terlepas dari benar atau tidaknya persepsi tersebut namun media harus bisa membuktikan diri bahwa pandangan tersebut tidak tepat.
            
Relasi antara islam, politik, dan media massa ibarat sudut segitiga yang sisinya saling terhubung antara satu dan yang lain, mustahil memisahkan ketiganya dalam ruang kehidupan yang sagat majemuk, yang urgen dilakukan adalah memastikan ketiganya untuk saling mengoreksi secara produktif antara satu dan yang lain, nilai luhur islam tentang khabar (pemberitaan) mampu bertindak sebagai salah satu pegangan bagi media untuk melakukan pemihakan pada jalan kebenaran, media mampu menjalankan fungsinya selain sebagai wadah pendidikan politik bagi publik juga sebagai pengawas tidak langsung dari prilaku elit politik yang sering menyimpang, sementara politik semestinya dijalankan dalam konteks melakukan perubahan ke arah kemaslahatan, bukan untuk kepentingan transaksi jangka pendek belaka, relasi tersebut memang terlihat sukar dibangun namun bukan berarti mustahil.       

Penulis: Zaenal Abidin Riam    
                    

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT