BREAKING

Sabtu, 06 April 2013

Ramadhan Dalam Ruang Empirik Sosial

Mesjid mendadak penuh. Jamaah salat subuh yang biasanya hanya bisa dihitung jari dan kebanyakan dari mereka hanya orangtua, kini tiba-tiba membeludak. Terlebih lagi jamaah salat isyanya. Bahkan mesjid ukuran kecil terkadang tidak mampu menampung jamaah sehingga sebagian dari mereka terpaksa harus salat di luar masjid.

Apakah gerangan yang terjadi? Tentunya bukan karena pengaruh 17 Agustus. Namun seperti tahun sebelumnya hal ini lebih disebabkan oleh pengaruh Ramadhan yang begitu dahsyat, umat Islam seakan terhanyut ke dalam arus kegembiraan menyambut Ramadhan.

Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga orangtua turut menikmati rasa eufhoria tersendiri. Bahkan eufhoria tersebut juga memasuki ranah komersil, hampir semua tempat perbelanjaan mulai dari toko pakaian, makanan sampai warnet sekalipun memberikan penawaran khusus kepada pelanggannya selama bulan Ramadhan.

Melihat fenomena ini, kita seolah bisa menarik kesimpulan dini bahwa seusai Ramadhan akan terjadi perubahan besar dalam diri umat, benarkah begitu? Jawabannya tergantung persepsi kita berdasarkan sajian realitas yang selama ini terhampar di hadapan umat.

Secara ideal, Ramadhan memang seharusnya disambut dengan penuh sukacita karena ia adalah momen yang bisa melahirkan pribadi manusia rabbani sehingga untuk sampai pada cita ideal Ramadhan, maka ada beberapa benang kusut yang mesti diurai kembali. Ini agar pemahaman dan tingkah laku umat tidak bablas dalam mendeskripsikan Ramadhan.

Apakah yang seharusnya dimaksud dengan bergembira menyambut bulan Ramadhan? Apakah kegembiraan tersebut bisa diukur dengan membeludaknya jumlah jamaah atau penawaran spesial yang diberikan oleh beberapa tempat perbelanjaan? Secara sepintas mungkin jawabannya “iya”, akan tetapi jika kita memandang dari kacamata esensi Ramadhan, maka jawaban paling bijak adalah ‘tidak’.

Kenapa harus “tidak”? berdasarkan kerangka tauhid, ekspresi gembira dalam menyambut kedatangan Ramadhan tidak bisa diukur melalui ekspresi seperti yang dicontohkan di atas. Sebab ekspresi semacam itu lebih cenderung mengedepankan penampakan material. Padahal bulan Ramadhan merupakan salah satu momen yang berfungsi meminimalisir penampakan material tersebut dan lebih mengedepankan nilai – nilai batiniah yang tetap memiliki relevansi dengan kesalehan sosial.

Bergembira dalam menyambut Ramadhan lebih tepat dipahami sebagai perasaan sukacita yang dialami oleh seorang hamba karena merasa dirinya akan memasuki sebuah periode waktu dan ruang dengan nilai plus tersendiri yang cocok dijadikan sebagai ajang refleksi sebagai bekal untuk menjalani hidup pada kurun waktu sesudahnya.

Esensi Ramadhan

Dalam Al Qur’an sendiri esensi perintah Ramadhan dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian. Pertama yang berkaitan dengan wilayah kemanusiaan yakni kesalehan sosial dan yang ke dua bertalian erat dengan aspek metafisik yakni hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Oleh karena itu salah satu prasyarat bagi pengikut Muhammad yang ingin menjalankan ibadah puasa secara holistik adalah dengan memperhatikan secara seksama kedua aspek tadi.

Melalaikan salah satunya hanya akan menjadikan kita menjalankan ibadah puasa tanpa ruh ramadhan atau dalam bahasa penulis “puasa sepotong – sepotong”. Salah satu contoh yang sering ditarik sebagai interpretasi makna puasa adalah agar pelaku puasa mampu merasakan kondisi kelaparan yang dialami oleh kaum fakir miskin. Pertanyaannya adalah mengapa harus rasa lapar si miskin yang dijadikan pelajaran bagi pelaku puasa.

Kenapa bukan jenis penderitaan yang lain? Bukankah penderitaan yang dialami kaum fakir miskin bukan hanya rasa lapar yang didorong oleh ketidakmampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup akan tetapi bisa juga mewujud ke dalam ketidakmampuan mereka dalam mendapatkan tempat tinggal yang layak atau biaya kesehatan yang terlampau mahal, sehingga mereka tidak mampu mengakses kesehatan yang layak sebab ruang pengobatan telah tertutup rapat bagi mereka.

Dalam pembacaan penulis, “kelaparan’ merupakan gejala paling akut dari fenomena kemiskinan. Ia merupakan pertanda bahwa seseorang yang sudah tidak mampu lagi mengais makanan untuk hidupnya telah berada dalam kondisi ‘miskin” yang sebenarnya.

Sebab secara material makanan merupakan kebutuhan paling pokok yang harus ditunaikan oleh setiap individu. Dalam ungkapan lain kita bisa berujar “makan merupakan penyangga terakhir yang memisahkan manusia dari kematian.” tidak dapat dipungkiri bahwa ketidakmampuan untuk mengakses kesehatan atau berada dalam suasana tuna wisma juga merupakan indikator kemiskinan. Akan tetapi sekalipun keduanya tidak terpenuhi namun individu bersangkutan masih memiliki peluang lebih besar untuk bertahan hidup.

Relevansi puasa dan kesalehan sosial seharusnya mampu menyadarkan kita akan makna sakral di balik puasa sehingga seorang Muslim tidak lagi menjalankan puasa sebatas ritual belaka. Karena jika ia hanya dimaknai sebagai sebuah ritual belaka, maka niscaya manusia akan mengalami kegersangan batin dalam menjalankan ibadah puasa.

Keasyikan Intelektual

Kemampuan untuk mengaplikasikan esensi puasa yang terkait dengan sisi kemanusiaan tidak boleh hanya berhenti pada sebatas “tahu,” melainkan ia harus mencapai tingkatan “paham” dan berlanjut pada tingkatan “perenungan”. Jika seorang pelaku puasa ramadhan hanya sampai pada tingkatan “tahu” dan gagal mencapai bukit “paham” apalagi perenungan, maka akan sangat dikhawatirkan pengetahuan yang dimilikinya hanya sebatas menjadi keasyikan intelektual belaka.

Hal itu disebabkan adanya motif tertentu yang ingin dicapai semisal ingin dikatakan sebagai orang yang paham agama layaknya seorang politikus yang paham bahwa korupsi itu merupakan tindakan krimanal ekstrim dan karena kepandaiannya dalam menjelaskan perkara korupsi sehingga ia sering mendapatkan undangan wawancara dari beberapa stasiun TV.

Namun anehnya karena beberapa bulan kemudian ia justru mendekam di balik jeruji besi karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan korupsi. Ia ibarat memakan sendiri jeruk yang pernah sangat tidak disukainya.

Pada hakikatnya esensi puasa dari perspektif kemanusiaan tidak hanya terbatas untuk merasakan penderitaan kaum fakir miskin, akan tetapi lebih dari itu ia juga berfungsi untuk melatih mental manusia dalam berjuang pada saat sulit. Ini sebagaimana diketahui bahwa seluruh ruang kehidupan manusia merupakan arena perjuangan, dan perjuangan sebagai bagian dari jihad tidak selamanya dilakoni dalam kondisi mudah. Justru dalam kondisi tertentu ia mesti dilalui dalam suasana sulit.

Dalam kondisi semacam ini, maka mental memiliki andil besar dalam menentukan akhir dari sebuah perjuangan. Tidak jarang kita melihat orang yang menyerah di tengah perjuangan atau lebih parah lagi mereka yang sudah terlebih dahulu ciut sebelum berjuang disebabkan mental mereka yang sangat rapuh. Dalam rangka menguatkan mental tersebut, puasa kemudian dijadikan sebagai salah satu ajang untuk menguatkan mental, tentunya mental jihad tersebut akan lahir dari pribadi yang memang menjalankan puasa sebagaimana puasa harus dijalankan.

Ruang Spritual

Jika ditilik dari segi esensi puasa lewat hubungan antara seorang hamba dan khaliknya, maka mesti diakui bahwa ruang tersebut sangat bersifat personal, ia bersifat personal karena lebih terkait dengan wilayah spiritualitas manusia dibandingkan area religiusitasnya. Olehnya itu sangat sukar bagi kita untuk membedah dan membuat standar khusus dalam ruang spiritualitas tersebut.

Sebab sifatnya yang sangat personal, maka yang paling paham tentang apa yang harus ia lakukan dan apa yang telah ia capai dalam hubungan antara dirinya dan Tuhannya adalah si hamba sendiri,. Adapun yang lain hanya bisa mengira – ngira saja. Ruang spiritualitas seseorang merupakan benang kusut yang sangat sukar diurai.

Ini karena ia lebih terkait dengan pemahaman dan mazhab berpikir seseorang tentang ajaran Islam ideal di matanya sehingga bila kita ingin membuat standar  ideal terkait spiritualitas bahwa spiritualitas yang ideal adalah harus “begini begitu”, maka akan sangat dimungkinkan standar pemahaman keislaman kitalah yang secara tidak sadar kita coba paksakan kepada orang lain.

Dalam hal ini kita tidak bisa lebih menitikberatkan penilaian kepada aspek jasmani dari sebuah ibadah tetapi penilaian kita mesti bisa sampai pada “nilai” yang berada dibalik bangunan material ibadah tersebut.

Upaya reorientasi pemahaman makna Ramadhan sudah sepatutnya menjadi sebuah hal urgen. Pelaku puasa tidak hanya dituntut untuk menghadirkan Ramadhan dalam sebulan saja. Namun mereka dituntut agar mampu menghadirkan Ramadhan dalam setiap bulan. Caranya, norma materil dari sebuah ibadah tidak lagi menjadi hal prinsipil.

Akan tetapi transformasi nilai  ibadah ke dalam kehidupan yang menjadi prioritas nomor wahid, maka di luar Ramadhan orang tetap peduli pada si miskin sebagai manifestasi zakat yang dikeluarkan di akhir ramadhan, panca indera tetap dipuasakan di luar Ramadhan sebagai perpanjangan tangan dari shaum. Makna baru tidak lagi dipusatkan pada pembelian pakaian baru karena hal itu berarti hanya membarukan jasmani sementara rohani tetap dibiarkan menua dan kusam namun lebih jauh justru hati dan akal lebih urgen untuk mendapatkan sentuhan kebaruan.

Seharusnya kita tidak perlu bergembira jika selama ini puasa kita tidak mampu bertindak sebagai mesin perubah. Sebab pada dasarnya kita tetap belum mampu melakukan rekonstruksi paradigma puasa, yang terjadi justru sebaliknya, kita asyik melanjutkan tatanan norma lama yang secara inheren dibangun dan terus dilanggengkan sehingga manusia terperangkap pada cara pandang dan tindakan bengkok. Hasilnya adalah kondisi umat antara sebelum dan sesudah Ramadhan bagai pinang dibelah dua (tidak muncul perubahan).

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT