BREAKING

Kamis, 04 April 2013

Spirit Pembebasan Dalam Madrasah Ramadhan



Islam merupakan sebuah agama tauhid yang sederhana dan gampang dicerna oleh para penganutnya, ia tetap merupakan ajaran yang mampu dicerna oleh akal sehat dalam tahapan tertentu, namun bukan berarti bahwa Islam merupakan agama yang menggunakan prinsip rasionalisme an sich, sebagian ajaran Islam tetap datang dalam bentuk teks, uniknya karena teks ajaran tersebut tetap bisa diverifikasi dengan pendekatan rasio, walaupun pada tataran tertentu rasio digiring untuk menyerah kepada teks karena ia sudah sampai pada titik kulminasi kemampuannya. Salah satu  poin dalam teks ajaran  islam, dan tertuang dalam kitab sucinya yang  yang bisa dipahami dengan pendekatan qalbu dan rasio, adalah perintah  melaksanakan puasa sebulan penuh  selama ramadhan.
            
Pada dasarnya puasa bukan merupakan ibadah baru dalam agama yang bercorak tauhid, bahkan agama non monoteisme tertentu juga memerintahkan puasa kepada penganutnya, akan tetapi kenapa Islam sebagai agama tauhid masih tetap memberlakukan perintah puasa khususnya yang dikerjakan selama ramadhan kepada para pengikutnya? Hal tersebut menandakan bahwa puasa ramadhan memiliki nilai lebih tersendiri dibandingkan dengan puasa yang dikerjakan oleh umat dari berbagai macam kepercayaan yang ada sebelumnya, Puasa ramadhan bukan merupakan titah langit yang hadir begitu saja tanpa mempunyai maksud yang jelas, justru sebaliknya, puasa ramadhan merupakan ibadah yang bergelimang nilai positif dibaliknya, hanya saja sebagian besar umat Islam masih terperangkap  pada cara pandang yang ritualistik terhadap puasa, sehingga nilai dibalik puasa tidak mampu ia internalisasi ke dalam dirinya.
            
Puasa ramadhan dalam konteks ajaran Islam bertindak sebagai salah satu madrasah (sekolah) kehidupan. Secara umum, hadirnya sekolah  dalam gelanggang kehidupan manusia ialah sebagai alat untuk melakukan transformasi  ke arah pembebasan, khususnya dari segala bentuk keterkungkungan  yang selama ini membodohkan manusia, lalu apa relevansi makna kehadiran sekolah dalam tinta sejarah kemanusiaan dengan ramadhan yang bertindak sebagai salah satu madrasah kehidupan? Dalam konteks ini ramadhan bertindak sebagai madrasah untuk membebaskan manusia secara pikiran dan tindakan terhadap segala bentuk pentaklidan selain   Allah, karena sangat terbuka peluang jika pergulatan hidup manusia selama sebelas bulan sebelumnya telah menjadikan manusia untuk bertaklid kepada selain Allah, tentunya pentaklidan tersebut mampu menciderai nilai ketauhidan yang merupakan titik sentral keberislaman seorang muslim,  pribadi-pribadi muslim yang ternodai itu perlu dibersihkan kembali dengan cara disekolahkan di madrasah ramadhan.
            
Ramadhan sebagai madrasah kehidupan untuk mewujudkan pembebasan hakiki bisa dideskripsikan, bahwa ketika ramadhan masuk, maka hal tersebut merupakan sebuah pertanda bel untuk untuk masuk ke dalam kelas madrasah telah dibunyikan, sehingga semua umat Islam mesti memasuki kelas dalam madrasah tersebut, kelas tersebut tidak akan berlangsung selama satu atau dua hari, tetapi kelas tersebut akan berlangsung selama satu bulan penuh, uniknya lagi karena ruangan kelasnya sangat banyak, dan ia terdapat dimana saja, sehingga orang bisa memasuki kelas tersebut dimana saja , apalagi pelajaran yang yang diajarkan kepada murid madrasah  bersifat sama tanpa perbedaan sedikitpun,  dalam kelas tersebut para murid tidak hanya dibekali dengan pengetahuan yang berbentuk teoritis berupa ceramah agama, atau model pengajian, akan tetapi lebih dari itu, mereka juga diberi panduan pelatihan yang bersifat praktis, berupa keharusan untuk berbagi terhadap sesama dengan cara memberikan sebagian harta kita (berzakat)  kepada  sesama umat (fakir miskin) dalam rangka mengasah sensibilitas kemanusiaan, disamping itu para murid madrasah ramadhan juga ditempa untuk mempertajam sensibilitas keilahian mereka, sehingga dalam beberapa  waktu tertentu mereka diperintahkan untuk melakukan aktifitas ibadah tertentu, semisal shalat , melakukan banyak perenungan tentang tanggung jawab dirinya kepada penciptanya lewat mekanisme zikir, sampai pada mengintenskan I’tikaf menjelang paruh akhir penutupan kelas, disadari atau tidak, ketika ramadhan tiba, maka pada saat itu kita melakukan aktifitas pendidikan berupa sekolah di madrasah ramadhan.
            
Sebagaimana lazimnya, dalam setiap sekolah tidak semua peserta didik fokus terhadap mata pelajaran yang disampaikan dalam kelas, tidak fokusnya seorang murid dalam bersekolah bisa dilatarbelakangi oleh berbagai hal, bisa karena niat yang memang sejak awal sudah melenceng, komitmen yang tidak utuh sehingga ia hanya berprinsip asal menerima pelajaran dan sekolahnya bisa selesai, ada juga yang memang hanya terpaksa ikut karena takut mendapatkan konsekuensi tersendiri bila ia tidak masuk sekolah. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan umat islam yang bersekolah di madrasah ramadhan, tidak semuanya serius dan bersungguh-sungguh, ada beberapa hal yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi,
             
Beberapa hal tersebut diantarnya: pertama,  mereka tidak punya pemahaman yang cukup tentang bagaimana semestinaya puasa yang hakiki dijalankan, sehingga mereka menggunakan logika “asal   jadi” dalam menjalankan ibadah puasa karena puasa dalam konteks ini hanya dipersepsi sebagai sebuah ritual, kebiasaan belaka, sehingga perhatiannya lebih banyak diarahkan kepada tampakan materil dari ibadah tersebut. Kedua, mereka punya pemahaman yang terkategori cukup terhadap puasa dalam bulan ramadhan, akan tetapi di sisi lain mereka masih minus kesadaran untuk menjalankan puasa sebagaimana ilmu yang dimilikinya terhadap puasa, kondisi seperti ini tetap akan membawa umat islam pada situasi   yang tidak jauh berbeda dengan bagian pertama di atas, dalam artian si subjek akan bersifat aportunis dalam menjalankan berbagai ibadah yang terkait dengan puasa ramadhan, sangat mungkin ia hanya akan memilih ibadah yang dianggap tidak akan merepotkan dirinya, padahal sebenarnya madrasah ramadhan berfungsi sebagai bulan riyadha (latihan) demi membebaskan diri umat dari segala bentuk pikiran dan prilaku yang sebenarnya tidak layak mendikte naluri kemanusiaannya, sehingga seluruh tahap latihan dalam madrasah ramadhan mesti dilalui secara tuntas. Ketiga, mereka yang memang minus ilmu sekaligus minus kesadaran terhadap ramadhan, kondisi seperti ini akan menjadikan yang bersangkutan resisten terhadap perintah ramadhan, ia akan selalu mencari ruang guna melepaskan diri dari perintah puasa, hal itu akan dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan, untuk tipe yang ketiga ini, maka kita tidak perlu berharap bahwa ia akan menjalankan bentuk riyadha lain yang bertalian dengan ibadah puasa ramadhan, karena ibadah puasa saja yang merupakan payung utama dari ibadah ramadhan sudah tidak ia laksanakan.
            
Penting untuk diperjelas bahwa spirit pembebasan yang mesti menghiasi ramadhan, tidak hanya berkutat pada relasi antara umat Islam yang menjalankan puasa dengan khaliknya, ia tidak hanya berputar  pada ruang transendental, akan tetapi lebih dari itu,  ia juga mencakup ruang yang bersifat profan,  yakni hubungan antara manusia yang satu dan manusia yang lain. Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa makna pembebasan tersebut wajib mengambil peran dalam ruang empirik kehidupan umat manusia, transformasi makna pembebasan ke dalam  ruang empirik bisa mengambil berbagai bentuk, semisal memaknai pembebasan sebagai usaha untuk melepaskan umat dari ketertinggalan, kemiskinan, kejumudan berpikir dan bertindak, serta seluruh model penindasan yang selama ini membelenggu umat Islam. Pada posisi ini penting kiranya untuk memberlakukan tafsir progresif terhadap makna puasa, karena makna pembebasan terhadap puasa hanya mampu dicerap oleh umat apabila tafsir progresif diberlakukan dalam memandang puasa, puasa tidak boleh dipersepsi dalam nuansa konservatisme, sebab jika ia dipersepsi lewat cara pandang konservatisme, maka makna pembebasan terhadap puasa tidak  mampu diinterpretasikan oleh pelaku puasa, pada titik ini puasa akan terjerembab ke dalam ruang ritualitas  yang miskin bahkan tanpa makna. Ada dua syarat utama agar makna pembebasan yang terkandung dalam ramadhan mampu ditekniskan di ranah praktis kehidupan, yakni dengan terlebih dahulu menghilangkan karakter individualistis dan egoistis ke dalam diri manusia, lalu memandang umat sebagai satu bagian yang tak terpisahkan.   
            
Kembali kepada fungsi ramadhan sebagai madrasah kehidupun, layaknya sekolah pada umumnya, madrasah ramadhan juga akan berakhir di penghujung bulan, di penghujung bulan tersebut akan terseleksi tentang siapa yang mampu lulus dengan predikat terbaik, cukup atau bahkan tidak lulus, bedanya karena pada sekolah secara umum pengumuman kelulusan disampaikan oleh sang guru, akan tetapi dalam madrasah ramadhan yang mengetahui dan memahami kelulusan hanya si pelaku puasa sendiri, caranya adalah dengan mencocokkan apakah semua panduan ramadhan termasuk ibadah yang terkait dengannya telah ia laksanakan secara substantif,  atau hanya setengahnya saja, mereka yang lulus dalam madrasah ramadhan diharapkan mampu meng up grade keimanannya, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat sosial, tingkat keimanan tersebut wajib dipertahankan selam satu tahun penuh sampai berjumpa dengan ramadhan berikutnya.   

Penulis: Zaenal Abidin Riam  

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT