BREAKING

Sabtu, 14 September 2013

Berebut Jatah Pahlawan


             Heroik, semua orang ingin terkesan sebagai manusia heroik. Dalam persepsi masyarakat, kata heroik selalu diasosiasikan sebagai sesuatu yang bermakna positif, rela berkorban untuk orang banyak atau umat, memiliki kontribusi tertentu yang senantiasa melekat dalam benak manusia sehingga akan selalu dikenang sebagai hal yang fantastis oleh orang yang datang sesudahnya. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, telah muncul beberapa orang dengan pemikiran dan tindakannya mampu mengubah komunitas, negara bahkan dunia.
Kata pahlawan dalam common sense lebih sering dipahami sebagai orang yang berjuang di saat pra kemerdekaan sebuah negara namun dalam realitasnya tidak semua pejuang pra kemerdekaan disematkan gelar pahlawan walaupun kontribusi mereka tidak perlu diragukan lagi.
Untuk mengukur besar kecilnya kontribusi seorang manusia terhadap negara maka tentu tidak dapat diukur dengan ada atau tidaknya gelar pahlawan yang ia sandang, sebab fakta berbicara bahwa banyak terjadi pro dan kontra dalam menilai jasa kepahlawanan seseorang bahkan polemik tersebut tidak jarang memicu kontroversi berkepanjangan terkait apakah ia layak disebut pahlawan atau tidak, terlebih lagi jika rekam jejak sang pahlawan tadi pernah tercoreng oleh tindakan banal sehingga sering terjadi julukan kontradiksi terhadap pribadi manusia bersangkutan, di negaranya ia dijuluki sebagai pahlawan namun di negara lain ia justru dianggap sebagai penjahat kemanusiaan. Kasus semacam ini dapat kita jumpai pada beberapa prajurit jepang semasa perang dunia ke II yang membantai rakyat china dan beberapa negara yang pernah mereka invasi, di jepang sendiri para prajurit ini justru disanjung sebagai pahlawan, semua itu disebabkan karena perbedaan titik berangkat dalam memandang status kelayakan pahlawan.
 Belakangan ini di Indonesia muncul sindrom GR ingin disebut pahlawan, pada dasarnya perasaan ingin melabeli diri sebagai pahlawan bukan berasal dari pribadi si bersangkutan tetapi rasa GR tersebut terkadang berasal dari keluarga atau penngikut fanatiknya setelah ia wafat. Dalam konteks Indonesia maka kita bisa berkaca kepada kasus Gusdur atau tokoh tertentu lainnya, sangat terbuka kemungkinan jika pribadi bersangkutan masih hidup maka mungkin saja ia tidak tertarik untuk mendapat gelar pahlawan karena hal itu tidak pernah menjadi prioritasnya dan di sisi lain gelar tersebut hanya menjadikan dirinya kehilangan orientasi dalam berbuat (berbuat untuk pamrih) sehingga berpotensi mengikis jiwa altruisme yang melahirkan tindakan non asketistik.
Menurut hemat penulis, masyarakat kita lebih cenderung memandang pahlawan dalam kerangka normatif daripada memandangnya pada tataran substantif, kerangka normatif lebih dipilih karena masyarakat tidak merasakan dampak langsung dari pengorbanan mereka, maka jadilah nama – nama pahlawan sebagai sebuah hafalan tak bermakna layaknya anak SD menghafal nama – nama pahlawan, di sisi lain masyarakat kita terkadang mengagungkan dan memuja seorang figur karena mereka menganggap figur tersebut memiliki kontribusi besar bagi komunitasnya sehingga bagi mereka figur tersebut lebih menarik dibandingkan dengan label pahlawan yang telah diformalkan pada bahu tertentu, sampai disini kita mampu memandang bahwa ternyata formalisasi gelar pahlawan pada orang tertentu tidak serta merta menjadikan masyarakat menghargainya seperti harapan pemerintah sebab setiap orang memiliki perbedaan persepsi dalam memandang gelar kepahlawanan, di sisi lain terdapat tokoh tertentu tanpa gelar pahlawan formal namun mendapat gelar pahlawan secara moral dari komunitas masyarakat tertentu, semisal para wali pembawa agama islam yang sering dikenang sebagai pahlawan oleh sebagian manusia.
            Seorang pahlawan sejati tidak akan pernah menganggap dirinya sebagai pahlawan bahkan ia selalu merasa diri sebagai orang yang tidak pantas untuk mendapatkan gelar tersebut karena ia selalu memelihara perasaan “kurang memberi kepada masyarakat” namun disinilah letak keistimewaan pahlawan sejati sebab dengan perasaannya itu (selalu merasa kurang memberi) maka masyarakat justru menganggap ia telah begitu banyak memberi dan berbuat untuk masyarakat sehingga ia layak diberi gelar pahlawan oleh orang yang memang membutuhkan pahlawan. 

Zaenal Abidin Riam
Penggerak Komunitas Pena Literasi

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT