BREAKING

Jumat, 06 September 2013

Mahasiswa dan Budaya Takut



 Dalam lintasan sejarah kebangsaan, generasi muda memainkan peran krusial dalam berbagai gerak perubahan, kontribusi kaum muda tidak dapat dinafikan begitu saja, kontribusi tersebut mewujud dalam bentuk gagasan dan tindakan nyata, gagasan kaum muda mampu memantik perubahan karena nuansa progresif menjadi warna khasnya, gagasan tersebut kemudian diturunkan dalam bentuk tindakan, pergeseran waktu kemudian menyajikan bahwa gagasan dan tindakan progresif kaum muda termasuk mahasiswa di dalamnya lebih sekadar sebagai cerita masa lalu belaka, dalam istilah lain “romantisme sejarah masa lalu”.
            
Kampus sebagai tempat berpijak mahasiswa mengalami kelesuan gerakan, nalar kritis yang dulunya merupakan mainstream corak berpikir mahasiswa hampir hilang tak berbekas lalu tergantikan dengan pola pokir “serba menurut”, analisa dan penyikapan terhadap kebijakan kampus hampir tak terdengar lagi, efeknya kebijakan yang merugikan mahasiswa seolah berlari di jalan tol, mulus tanpa hambatan, secara umum kebijakan tersebut berusaha memisahkan mahasiswa dari peran sejatinya sebagai agen perubahan, mahasiswa kemudian digiring untuk mengurusi masalah akademik belaka, penting ditekankan bahwa peran mahasiswa sebagai agen perubahan harus mulai dijalankan pada saat ia masih berstatus mahasiswa, bukan setelah ia menanggalkan status tersebut.
            
Pada dasarnya hidup mahasiswa di kampus merupakan pertaruhan antara “membiarkan” dan “menyikapi”, pembiaran akan melahirkan konsekuensi negatif bagi mahasiswa karena sekalipun suatu hal telah diketahui sebagai hal buruk namun ia tetap dibiarkan berlalu begitu saja, budaya “membiarkan” merupakan refleksi dari rasa “takut” dalam menanggung konsekuensi tertentu dari sebuah tindakan walaupun sebenarnya tindakan tersebut merupakan tindakan mulia. Budaya takut dalam dunia kampus masa kini tidak hadir begitu saja, dalam sisi tertentu timbulnya budaya tersebut dapat dibaca sebagai keberhasilan birokrasi kampus dalam mendesakkan setiap ,kebijakan mereka kepada mahasiswa, telah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi selalu memiliki kepentingan untuk meredam nalar dan tindakan kritis mahasiswa karena di mata mereka hal tersebut masih dipersepsi sebagai ancaman terhadap stabilitas kampus, sebuah persepsi miris, akan tetapi dalam sisi lain kemunculan budaya “takut” juga dapat dipahami sebagai renggangnya solidaritas mahasiswa dalam menyikapi kebijakan yang seharusnya disikapi, cenderung bergerak sendiri, gerakan seperti ini gampang dipatahkan, jamak dipahami bahwa bergerak dalam koridor jamaah akan meminimalisir rasa takut.
            
Mahasiswa bukanlah anti tesa birokrasi dalam dunia kampus atau pemerintah dalam skala negara namun harus diingat bahwa mahasiswa memikul tanggung jawab moril terhadap lingkungan sosial di sekitarnya baik dalam konteks kampus maupun konteks negara sehingga tindakan pembiaran terhadap kekeliruan yang terjadi di sekitarnya juga merupakan kekeliruan itu sendiri, lebih jauh penulis ingin menekankan bahwa ketika mahasiswa lebih sibuk menyikapi masalah di luar domain kampus dibandingkan kebijakan yang berkembang dalam dunia kampus maka hal itu juga merupakan sebuah bentuk kekeliruan, buat apa menyirami taman tetangga jika taman di halaman sendiri masih gersang, semoga bermanfaat.

Penulis: Zaenal Abidin Riam


About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT