BREAKING

Minggu, 17 Mei 2015

Pesantren Bukan Sekadar Produsen Ustadz

Mendengar kata pesantren, imajinasi kita langsung melayang pada kata “ustadz”, entah mengapa persepsi masyarakat selalu mengaitkan pesantren dengan ustadz, bahkan lebih jauh, mereka beranggapan bahwa pesantren hanya fokus melahirkan para ustadz, orang yang tamat pesantren sudah pasti akan jadi ustadz, tidak ada pilihan hidup lain baginya selain menjadi ustadz, sebenarnya persepsi ini termasuk ganjil, butuh diluruskan pada bagian tertentu, memang sulit memisahkan pesantren dengan ustadz, dalam kehidupan nyata, mereka yang disebut ustadz kebanyakan berlatar belakang pesantren, pernah nyantri di pesantren tertentu, namun perlu pula diingat, bahwa dalam kehidupan nyata, tidak semua yag digelari ustadz, pernah mengenyam pendidikan di dunia pesantren, bahkan ada beberapa ustadz yang wajahnya akrab di TV namun bukan dari pesantren, jika mengamati fakta, tidak semua alumni pesantren menjadi ustadz, ada juga yang jadi pebisnis, birokrat, hingga politisi.

Kisah alumni pesantren yang tidak berlabel ustadz, menandakan bahwa pesantren bukan sekadar produsen ustadz, pesantren juga tidak mengharuskan santrinya untuk menjadi ustadz, sebuah pandangan yang demokratis, jika dikatakan pesantren membekali santrinya dengan ilmu dakwah, maka hal itu memang benar, namun yang perlu dikoreksi, melakukan aktifitas dakwah bukan berarti harus menjadi ustadz, dakwah berarti menyampaikan pesan – pesan kebenaran kepada umat manusia, dalam Islam, menyampaikan pesan kebenaran, merupakan tugas semua Umat Islam, termasuk tugas mereka yang sama sekali tidak pernah nyantri di pondok, jadi apapun profesi anda, birokrat, politisi, pejabat publik, hingga rakyat biasa tanpa gelar sosial apapun, semua wajib melakukan aktifitas dakwah, dalam artian menyampaikan pesan kebenaran kepada sesama manusia. 
     
Pada dasarnya, dunia pesantren hanya bertindak sebagai media pencerahan agama secara intens kepada santrinya, soal pilihan hidup ke depan, maka hal itu diserahkan kepada masing – masing santri, sederhananya, apapun profesi santri di masa mendatang, bila telah memiliki pondasi agama yang kokoh, maka ia akan tetap berjalan di rel ajaran Islam, menjadi ustadz tidak mengharuskan orang belajar di pesantren, sebab ilmu agama tidak hanya bisa dikaji di pesantren, tempat pengkajian ilmu agama tersebar luas dimana – mana, apalagi bagi mereka yang hidup di daerah perkotaan, akan sangat mudah bagi mereka menjumpai tempat pengkajian ilmu agama, yang dibutuhkan adalah keseriusan, walaupun seseorang nyantri di pesantren hingga tamat, namun ia tak serius memanfaatkan waktunya, maka ilmu agama yang didapatkan akan sangat minim, sebaliknya, walaupun seseorang hanya mengkaji ilmu agama di luar dunia pesantren, tetapi ia istiqamah memanfaatkan waktunya, maka boleh jadi ia akan memperoleh ilmu Islam yang lebih banyak. 

Memang ada perbedaan sudut padang keislaman, antara mereka yang mengkaji Islam di pesantren dan mereka yang medapatkannya di luar pesantren, biasanya alumni pesantren lebih terbuka dalam memahami Islam, sehingga mereka cukup dewasa menghadapi perbedaan pemahaman keislaman, sedangkan mereka yang mengkonsumsi ilmu agama di luar pesantren, biasanya lebih tertutup dan susah menerima perbedaan, hal ini disebabkan tingkat pengkajian referensi Islam yang berbeda, di dunia pesantren, santrinya disodori dengan pengkajian al qur’an dan hadist secara utuh, perbedaan sudut pandang para ulama dalam memahami ayat al qur’an dan hadist tertentu juga disajikan, hal ini menjadikan para santri sejak awal akrab dengan perbedaan pandangan, sedangkan mereka yang mengkaji Islam di luar dunia pesantren, lebih sering hanya mengkaji satu aliran tunggal dalam memahami al qur;an dan hadist, hal ini rawan menjadikan mereka mempersalahkan kelompok Islam lainnya, walaupun ini adalah kecenderungan umum, namun hal ini tidak berlaku otomatis, banyak juga pengkaji Islam di luar pesantren yang berpikiran terbuka, toleran, serta mampu menerima perbedaan, terlebih belakangan mulai marak pengajian Islam di luar pesantren yang menekankan pentingnya menghargai perbedaan, mereka ini banyak juga yang kemudian diakui sebagai ustadz, mereka juga aktif menjalankan dakwah di berbagai mimbar dakwah.

Mereka yang hingga saat ini masih menganggap pesantren sebagai produsen ustadz belaka, tentu terjebak dalam kekeliruan pandangan, sama kelirunya dengan masyarakat yang memperlakukan pesantren sebagai bengkel anak nakal, seolah – olah semua anak nakal yang dimasukkan ke pesantren, akan langsung sadar, padahal perubahan manusia sangat ditentukan oleh niat dan tekad manusia sendiri, dididik di sekolah manapun kalau orangnya tidak memiliki niat dan tekad untuk berubah, maka ia akan tetap begitu – begitu saja, kekeliruan masyarakat dalam memahamai pesantren sebagai produsen ustadz belaka, juga diakibatkan oleh pengenalan mereka yang minim tentang pesantren, sebagaian besar masyarakat hanya mengenal pesantren dari kulit luarnya saja, celakanya karena pemahaman kulit luar ini juga mereka peroleh dari orang luar pesantren, yang notabenenya tidak pernah hidup di dunia pesantren, jika masyarakat mau menyelami lebih dalam tentang dunia pesantren, minimal berdiskusi dengan ustadz pembina pesantren, tentang model pendidikan, arah dan tujuan pesantren, maka mereka tidak lagi menganggap pesantren sebagai pencetak ustadz saja, semoga saran ini membantu. 

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT