BREAKING

Selasa, 02 Juni 2015

Ekspresi Perlawanan Dalam Seuntai Puisi



Dari sudut pandang sejarah, puisi merupakan karya sastra tertua di dunia, awalnya puisi lahir dalam bentuk mantra, pada posisi ini, puisi sangat bernuansa mitos, ia masih bercampur dengan suasana keghaiban, seiring dengan perkembangan zaman, puisi pun mengalami dinamisasi, ia terus berubah bentuk menjadi semakin maju, bentuk pusi tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial generasi yang hadir dalam setiap zaman berbeda, mereka selalu berupaya mengekspresikan rasa dan emosi berdasar pada realitas keseharian, puisi pada dasaranya merupakan bahasa universal, ia merupakan cara menuturkan ekspresi dalam bentuk lain, isi puisi selalu lentur, suatu teks puisi akan melahirkan bergam makna dari generasi berbeda, jika dikaitkan dengan hidup keseharian, puisi sering menjadi wadah ekspresi perlawanan, hal tersebut terutama terjadi saat kerang bersuara dikungkung.


Bahasa puisi yang tidak hadir dalam wujud literal, menjadi ruang bebas tersendiri untuk menghadrkan kritikan terhadap suasana yang begitu tertutup, dengan menghadirkan kritikan dalam bentuk puisi, maka si pengkritik dapat sewaktu – waktu menghindar dari tuduhan rezim, banyak dalih yang bisa digunakan, salah satunya adalah dalih seni, atau dalih makna dalam bentuk lain, sejarah mencatat, ketika sebuuah negara dikendalikan oleh rezim otoriter, lalu si rezim memaksakan kehendaknya kepada rakyat, dan menuntut rakyat untuk tunduk penuh kepada mereka, atau menjadikan dirinya seolah pemilik kebenaran yang tak bisa disentuh, termasuk terlarang dikritik, maka dalam situasi ini puisi sering menjadi alat pelarian, di dalam puisi, individu yang tidak puas pada kenyataan, menyuarakan kritikannya dalam bahasa yang sarat makna, bahkan tidak jarang puisi mereka beralih menjadi sebuah lagu yang digandrungi oleh generasi muda kala itu.

Jika kita berkaca pada kenyataan yang lebih luas, kehadiran ekspresi perlawanan dalam puisi tidak hanya hadir saat kerang kebebasan berpendapat ditutup, dalam sebuah negara dengan jaminan kebebasan berpendapat, ekspresi perlawanan tetap mewarnai beragam puisi yang tercipta saat itu, bahkan bentuknya sering lebih tajam dan berani, malah komunitas gerakan perlawanan yang dulunya tidak akrab dengan puisi juga mulai menjadikan puisi sebagai wadah penyebar ide – ide perlawanan yang mereka bangun, sepertinya mereka sampai pada sebuah kesadaran untuk membahasakan ekspresi perlawanan dalam jangka panjang, maksudnya bahwa mereka sadar bila pemikiran perlawanan yang mereka bangun harus bekerja dalam jangka panjang, olehnya itu harus dipilih sebuah medium yang bahasanya mampu bertahan pada beberapa generasi setelahnya, dan puisi merupakan salah satu medium tersebut.

        Pada hakikatnya puisi tak sekadar ekspresi seni yang hadir di ruang hampa (paling tidak menurut pemahaman penulis yang sangat awam), ia juga bukan sekadar ekspresi generasi cinta monyet, yang sering menjadikan puisi sebagai sarana gombal lawan jenis, setiap teks, bahkan setiap kata dalam puisi selalu memiliki latar belakang pembentukan diri, dalam suasana apa ia terbentuk? Apa yang melatarbelakanginya terbentuk? Puisi adalah salah satu refleksi sosial dalam bentuk sindiran saat bahasa essai tak lagi dipedulikan, berpuisi bukan berarti membangun angan atau khayalan, justru berpuisi merupakan usaha untuk membahasakan kenyataan dalam bentuk lain, bahasa puisi yang terkadang sangat satir, menyebabkan puisi sukar berdamai dengan kekuasaan, bahkan ia lebih sering mengambil posisi sebagai tukang kritik kekuasaan, ini pula yang menyebabkan pelaku sastra yang menekuni puisi tidak jarang diintimidasi penguasa, memang kita tidak memungkiri ada juga puisi yang selalu menyanjung penguasa, yakni puisi yang lahir dari orang yang rasa dan pikirannya telah dibeli oleh penguasa, dalam sisi tertentu, berpuisi adalah melawan dengan rasa, karena perlawanan tanpa rasa hanya melahirkan perubahan hampa harmoni.

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT