BREAKING

Selasa, 09 Juni 2015

HMI MPO dan Tradisi Perkaderan

Setiap organisasi memiliki dua aspek dalam melakukan kerja kelembagaannya yakni aspek struktural dan aspek kultural, aspek struktural biasanya terlihat lebih kaku karena ia terkait dengan aturan formal organisasi yang dituangkan secara tertulis sedangkan aspek kultural seringkali lebih Nampak fleksibel. Jika sebuah organisasi ingin mencapai tahap kemajuan, maka perhatian pada ke dua aspek tersebut tidak boleh diabaikan, mengabaikan salah satu di antaranya merupakan tindakan keliru. Dalam realitasnya, sebuah organisasi terkadang lebih menekankan regulasi tertulis, ranah tradisi yang dihasilkan dari konvensi lisan sebagai bentuk penafsiran lanjutan dari regulasi tertulis justru dianggap tidak memiliki peran sentral, persepsi seperti ini penting dikritisi dengan cermat, benar bahwa bentuk tradisi organisasi bisa bergeser dari satu waktu ke waktu lain namun pergeseran tersebut mesti disertai dengan sistem penjelas yang bisa dipertanggungjawabkan.
            Dalam konteks HMI MPO, para kader tidak bisa menutup mata dari pergesern tradisi yang sementara berlangsung, pergeseran tradisi tersebut khususnya terkait dengan ranah perkaderan, banyak hal
yang dulunya dijunjung tinggi bahkan dalam titik tertentu disakralkan tetapi kini justru dianggap profan dan diganti dalam bentuk tradisi lain, tak pelak hal ini mengundang debat di antara sesama kader dan alumni, ada yang melihat dalam domain positif namun tak sedikit pula yang melihatnya dalam domain negatif. Desakralisasi dan pergantian bentuk tradisi merupakan hal lumrah dalam sebuah lembaga mengingat tradisi selalu terkait dengan ruang sosial manusia yang bersifat cair, akan tetapi perlu diingat bahwa pergeseran persepsi dan sikap dalam memandang tradisi mesti disertai dengan argumentasi yang bisa dijelaskan kepada semua pihak. Jika dikaitkan dengan pergeseran tradisi perkaderan yang berlangsung dalam tubuh hijau hitam, maka bisa diberi penilaian awal bahwa dalam banyak hal perubahan tradisi perkaderan tidak memiliki landasan penjelas yang valid.
            Ketidakmampuan para kader dalam merumuskan sistem penjelas utuh terkait pergeseran tradisi perkaderan yang mereka lakukan disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, pergeseran tersebut tidak dilandasi atas pemahaman utuh terhadap tradisi lama yang mereka tinggalkan, secara ideal upaya meninggalkan tradisi lama merupakan sebuah kritik terhadap tradisi tersebut yang dianggap tidak mampu lagi menyapa realitas zaman, hal tersebut mengindikasikan bahwa generasi yang hadir dalam kelompok tersebut harus terlebih dahulu melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap semua aspek dalam tradisi lama demi mengidentifikasi bagian yang dianggap tidak layak lagi dianut dan diaplikasiakan, apabila tahapan di atas tidak dilalui maka pergeseran tradisi cenderung berpola “asal berubah”, bukan berpola kritis. Ke dua, pergantian menuju tradisi baru tidak berasal dari kesepahaman bersama di antara sesama kader, kondisi ini terjadi karena dialektika tradisi dalam ruang perkaderan tidak diarahkan, dibimbing dan direkayasa oleh lembaga, ia terjadi secara aksidental, akibatnya pahaman tentang tradisi baru dalam benak kader berbeda antara satu dan yang lain tanpa ada standar yang bisa menjadi panduan bersama bagi tradisi tersebut. Ke tiga, pengabaian terhadap tradisi lama dalam dunia perkaderan lebih dilandasi oleh sikap reaksioner dalam merespon kondisi zaman yang berubah super cepat, ada semacam keterkejutan dan kegagapan dalam memandang kehadiran organisasi dalam dunia empirik, lahirlah pendirian bahwa organisasi dengan segala perangkatnya harus melakukan perubahan diri secara super cepat pula karena jika tidak maka ia akan digilas oleh zaman, pada dasarnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari fenomena masyarakat kontemporer yang serba tergesa – gesa dalam merespon sesuatu akibat hujan informasi yang membanjiri otak mereka, konsekuensi sikap seperti ini bagi para kader adalah lahirnya penilaian yang terlalu dini dalam memandang organisasi dengan segala perangkatnya termasuk tradisi yang hidup di dalamnya, celakanya karena hasil dari sebuah penilaian yang diproses secara instan lebih sering bernuansa negatif terhadap objek penilaian. Ke empat, pergeseran tradisi lebih bermotif “ikut – ikutan”, maksudnya bahwa para kader merubah tradisi perkaderan hanya karena melihat organisasi lain sedang beramai – ramai merubah tradisi perkaderannya, singkatnya perubahan tradisi sedang menjadi sebuah trend, pada posisi ini ibaratnya kita hanya memeriksa tubuh orang lain namun hasil pemeriksaan tersebut justru diterapkan kepada tubuh kita, tentu diagnosa problem organisasi dengan model seperti ini tidak menghasilkan hal yang dibutuhkan, melakukan komparasi diri dengan organisasi lain bukanlah tindakan keliru namun para kader seharusnya mampu memahami bahwa setiap organisasi memiliki sudut pandang berbeda dalam merespon realitas.

            Perubahan tradisi perkaderan dalam lingkup HMI MPO bukan sesuatu yang mesti diharamkan karena ia merupakan hukum alam organisasi, akan tetapi yang perlu diingat adalah setiap perubahan tradisi mesti dilakukan secara cermat agar sikap tersebut mampu dijelaskan dan dipertanggungjawabkan kepada semua pihak, pergeseran tradisi semestinya didahului oleh proses dialektika internal organisasi yang diolah secara matang agar tidak menyimpang dari visi kelembagaan, tanpa bermaksud memapankan status quo, jika para kader hijau hitam belum mampu melahirka tradisi yang lebih unggul dari yang telah ada sebelumnya maka berpegang pada tradisi lama merupakan tindakan yang lebih bijak.

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT