BREAKING

Selasa, 02 Juni 2015

Masih Belum Merdeka

tulisan ini sebelumnay telah dimuat di 
http://www.detikawanua.com/2014/08/belum-merdeka.html

Agustus merupakan momen bersejarah bagi rakyat nusantara, di dalamnya lahir peristiwa besar yang menjadi titik balik sebuah bangsa, dalam momen ini, Indonesia sebagai sebuah negara formal dilahirkan, hingga kini peristiwa agung tersebut selalu diperingati megah sebagai momen kemerdekaan, merdeka adalah sebuah kondisi dimana komunitas bebas dan mampu mengatur, menentukan, nasib negaranya, pada posisi ini, kemerdekaan tidak hanya berdimensi formal, lebih dari itu, kemerdekaan wajib hadir secara substantif, yakni negara harus merdeka pada semua aspek kehidupan rakyatnya. 
Memperingati hari kemerdekaan tentu bukan sesuatu yang salah, bahkan sebuah kemestian demi menjaga semangat berbangsa dan bernegara, namun, memperingati kemerdekaan tidak boleh sekadar menyanjung peristiwa heroik masa lalu, sebab hal tersebut berpotensi membuat kita abai dengan kondisi realitas kenegaraan hari ini, memperingati proklamasi berarti melihat kemerdekaan dalam kaca mata kekinian.
Benar bahwa negara ini telah merdeka secara fisik, itu telah lama sejak 1945, tetapi di sisi lain mata kita juga harus terbuka, masih banyak pemandangan yang bertentangan dengan nuansa kemerdekaan itu sendiri, kemiskinan, ketidakpastian hukum, korupsi skala makro, merupakan beberapa catatan kecil dari sekian banyak catatan pilu tentang negara ini, dan semua catatan tersebut menginjak nilai kemerdekaan, bahkan menggugurkannya dalam banyak konteks, ganjil rasanya menganggap diri sebagai bangsa merdeka bila perbuatan yang mencoreng kemerdekaan tetap merajalela, bangga terhadap kemerdekaan merupakan hal baik, tetapi kebanggaan tersebut harus hadir dalam bentuk kritis, sebab, kebanggaan yang tidak kritis terhadap kemerdekaan, hanya melahirkan sikap yang menganggap semua permasalahan bangsa telah selesai, tentu cara pandang ini tidak solutif bagi Indonesia.
Rendahnya tingkat kesejahteraan, ketidakpastian hukum, dan korupsi merupakan tiga kasus utama yang membebani kemerdekaan kita. Salah satu tugas utama hadirnya negara adalah mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya, negara merdeka wajib mampu merealisasikan hal tersebut, kesejahteraan merupakan indikator utama dari kemerdekaan, mari kita lihat realitas kebangsaan hari ini, dari seratus persen, berapa persen rakyat Indonesia yang terkategori mencicipi kesejahteraan? Apakah jumlahnya jauh lebih banyak dibandingakan yang belum sejahtera? Untuk menjawab hal itu maka tinggal dilihat fenomena kemiskinan di negara ini, apakah jumlah penduduk miskin lebih sedikit dari penduduk sejahtera? Silakan direnungkan, yang jelas terlalu sulit memberikan jawaban “iya”.
Ketidakpastian hukum, hukum merupakan instrumen utama lahirnya keadilan dalam sebuah negara, ketidakadilan merupakan karakter utama dari penjajahan, amati saja, sepanjang sejarah penjajahan, tak satupun negara kolonial yang bersikap adil terhadap negara jajahannya, secara regulasi, hukum kita telah layak mewujudkan rasa adil di negara ini, hal tersebut terlepas dari ragam kekurangan di dalamnya, masalah terjadi pada aspek penerapan, ada jarak yang begitu jauh antara nilai ideal dalam regulasi hukum dengan praktik penegak hukum di lapangan, sumber masalahnya adalah mental bobrok yang mengakar pada oknum penegak hukum, dalam hal ini mental untuk melanggar hukum yang seharusnya mereka junjung, kronisnya karena beberapa perbuatan tertentu dari tindakan melanggar hukum, justru telah dianggap lumrah di mata penegak hukum, memberikan gaji tinggi kepada para penegak hukum tidak menjawab kebobrokan mental yang mereka alami, tindakan pemulihan harus diarahkan pada mentalnya.
Korupsi, kita telah sering mendengar adigium ringan tentang korupsi, “korupsi merupakan kejahatan yang lebih kejam dari pembunuhan, jika pembunuhan hanya menghilangkan satu nyawa maka korupsi menghilangkan ribuan bahkan jutaan nyawa sekaligus”, singkatnya korupsi merupakan pembunuhan massal terhadap korbannya, ini pula sebabnya sehingga korupsi tergolong kejahatan kelas kakap (extra ordinary crime), kemiskinan di Indonesia juga dipicu oleh prilaku korupsi yang tersistematis, dalam konteks struktur formal, korupsi dapat ditekan bila kepastian hukum terjamin, ke duanya merupakan jalinan yang tak bisa dipisahkan, korupsi merupakan ancaman nyata bagi kemerdekaan kita, betapa tidak, selama korupsi menggurita, maka selama itu pula jutaan rakyat dirampas hak hidupnya, peristiwa seperti ini terlalu susah diterima akal sehat bial terjadi dalam negara yang menganggap dirinya merdeka, mereka memang masi bernyawa secara jasad, akan tetapi peluang mereka untuk mengembangkan hidup telah tertutup, contoh sederhana, proyek bantuan untuk masyarakat miskin yang dikorupsi di tengah jalan, semakin membenamkan rakyat miskin ke dalam kemiskinan, sekaligus menutup ruang mereka untuk mengecap kesejahteraan.
Sekarang mari kita amati sumber daya alam kita, karena ia selalu dianggap sebagai salah satu modal membangun negara, negeri ini memang kaya akan sumber daya alam, karena kayanya sehingga muncul istilah negeri surga, lantas sejauh mana potensi sumber daya alam tersebut berefek kepada rakyat Indonesia? Jika berbicara efek, maka efek positifnya sangat minim, mengapa? Analisa saja, sebagian besar sumber daya alam kita tidak dikelola negara, justru dikelola pihak asing, pembagian hasil pengelolahannya pun sangat tidak berimbang, Indonesia hanya mendapat sedikit sekali keuntungan dari pembagian tersebut, padahal jelas sumber daya alam tersebut merupakan milik kita, berada di bumi Indonesia, alasan pemegang kebijakan bahwa kehadiran perusahaan asing di Indonesia mendatangkan keuntungan bagi rakyat, khususnya melalui penyerapan tenaga kerja, merupakan isapan jempol belaka, alasan ini mengabaikan kenyataan sesungguhnya, realitasnya mereka hanya menjadi buruh bawahan di perusahaan tersebut dengan gaji tak seberapa, walaupun pihak asing membayar ribuan buruh kelas rendah, namun hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi keuntungan mereka, yang sejahtera adalah rakyat negara pihak asing tersebut, rakyat Indonesia hanya menjadi buruh di negeri sendiri, parahnya pemerintah terlihat tidak berdaya mengendalikan hegemoni pihak asing tersebut, alasan normatif bahwa kita belum mampu mengelola sumber daya alam sendiri, sehingga membutuhkan bantuan asing, merupakan alasan klise, selama alasan ini masih diyakini maka tidak usah berbicara tentang kemajuan negara, apalagi mengagungkan kemerdekaan secara tidak proporsional.
Pada dimensi lain, rakyat negeri ini masih mengidap mental in lander (mental budak), mental warisan kolonial, mental ini selalu mensyaratkan perasaan lebih rendah dari bangsa lain, terlebih bila berhadapan dengan negara yang dianggap maju, kita sering terlalu sibuk mengagumi keagungan dan pencapaian prestasi negara lain, lalu membuat perbandingan negatif dengan bangsa kita, sadar bahwa ada jarak yang begitu jauh antara negara kita dan negara lain, menyebabkan kita pasrah dan merasa wajar berada di belakang, kita telah lupa bahwa nenek moyang nusantara telah melakukan berbagai hal besar pada masanya, sehingga menyebabkan komunitas di luar nusantara hormat terhadap nenek moyang kita kala itu, kita telah lupa bahwa di nusantara pernah hidup beberapa kerajaan besar yang memiliki superioritas terhadap wilayah – wilayah di luar nusantara, kemajuan dan kemunduran hanya urusan waktu, walaupun nusantara yang telah menjelma menjadi indonesia mengalami masa sulit, namun bukan berarti kita harus merasa rendah diri di hadapan bangsa lain, atau mungkin juga mental in lander masih kita idap karena pada dasarnya kita belum merdeka, entahlah?.
Bangsa ini memang belum merdeka pada semua aspek kehidupan, ia baru merdeka pada aspek fisik, penjajahanpun belum sepenuhnya musnah dari bumi pertiwi, ia tetap membayangi rakyat kita, kerja penjajahan hanya berubah bentuk, ini yang pernah disebut Bung Karno sebagai neo kolonialisme (penjajahan gaya baru), bentuk mutakhir neo kolonialisme adalah neo liberalisme, yang mana campur tangan pihak asing menjadi sangat masif, mereka bekerja melalui lobi elit, menekan pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menjamin kepentingan mereka di Indonesia, ketidaktegasan pemerintah justru mereka manfaatkan untuk melakukan kompromi politik yang sangat merugikan negara, moncong senjata tentara Belanda dan Jepang memang tidak lagi diarahkan ke wajah rakyat Indonesia, tapi sumber daya alam dan mental kita tetap dikontrol pihak asing, ditambah lagi institusi hukum masih sangat labil, yang terjadi di Indonesia adalah penjajahan dari dua arah, dari luar kebijakan negara kita banyak diintervensi pihak asing, sedangkan dari dalam muncul kolaborasi kelas elit, mereka mengontrol hidup masyarakat menengah ke bawah demi langgengnya kepentingan mereka, bangga sebagai bangsa merdeka memang perlu, namun sadar sebagai bangsa yang belum merdeka juga tidak kalah perlunya.

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT