BREAKING

Selasa, 02 Juni 2015

Mendamaikan Islam dan Negara di Nusantara


Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki sejarah panjang, penerimaan islam sebagai agama mayoritas di bumi pertiwi terbilang unik, masuknya islam juga merupakan berkah tersendiri bagi bangsa ini, islam disebarluaskan di nusantara bukan dengan jalan pedang, melainkan melalui proses transformasi sosial oleh para ulama, beberapa ulama berprofesi sebagai pedagang, ini pula yang menyebabkan islam di Indonesia lekat dengan tradisi perdagangan, penting dicatat, proses transformasi sosial dalam penyebaran islam berjalan secara damai, dalam banyak kondisi penyebaran islam menempuh jalan kultural, ia memanfaatkan model kebudayaan masyarakat setempat dengan menjadikannya berbentuk islam, sehingga jangan heran bila masih banyak kebudayaan nenek moyang tetap bertahan, tapi isinya telah mengalami perubahan, berisikan islam.
            
Seharusnya proses masuknya islam di Indonesia bisa menjadi pelajaran, dalam hal ini bagaimana mendudukkan relasi antara islam dan Negara, islam dan Negara tidak harus diperhadap- hadapkan, argumentasi bahwa Indonesia tidak menerapkan syariat islam dan tidak berbentuk pemerintahan islam, bukan merupakan alasan primer yang menjadikan islam harus berhadapan dengan Negara, mengharuskan syariat diterapkan secara formal hanya merupakan salah satu bentuk tafsiran, tafsiran lain justru meyakini bahwa syariat tidak harus hadir dalam bentuk normatif, namun dalam bentuk nilai, jadi aspek nilai dalam syariat islam yang ditransformasikan masuk ke dalam hukum kenegaraan, bisa saja label hukumnya tidak bernama syariat islam, tapi inspirasi hukum tersebut berasal dari syariat islam, di sisi lain pemerintah pada dasarnya tidak alergi dengan pemberlakuan syariat islam, hal tersebut terbukti dengan diberikannya kewenangan pada daerah tertentu memberlakukan syariat islam, Aceh menjadi contoh dalam kasus ini, tentu pemberian izin ini memperhatikan konteks sosial suatu daerah.


Kita tetap patut mengakui bahwa islam di negeri ini pernah berada dalam tekanan rezim penguasa, khususnya di masa orde baru, pada masa ini depolitisasi terhadap islam sangat kental, islam dijauhkan dari proses politik lalu dipaksa mengurusi ritual peribadatan belaka, belum lagi dengan berbagai kejadian pilu yang menimpa umat islam kala itu, semisal tragedi tanjung priok, islam yang semenjak era klasik telah menganggap politik sebagai bagian inheren, tentu tidak bisa menerima strategi depolitisasi ala soeharto, khususnya mereka yang bergelut intens di dunia islam politik, akan tetapi dari sudut pandang lain, depolitisasi islam justru melahirkan model gerakan islam baru, yakni gerakan islam kultural dengan mengintenskan dakwah ke pelosok, khususnya daerah yang rawan disusupi kristenisasi, ada pula yang menjadikan pendidikan sebagai lahan gerakan.
            
Penting untuk menafsir ulang posisi islam dalam Negara, hal tersebut sangat terbuka lebar, karena Nabi memberikan ruang kepada umatnya mengatur masalah keduniaan, politik, disadari atau tidak, merupakan bagian dari perkara dunia, memang urusan akhirat juga terbawa di dalamnya, sementara relasi antara islam dan Negara merupakan domain perkara politik, jika umat islam ingin memperjuangkan agama lewat jalur politik maka sekarang merupakan waktunya, karena sekarang Indonesia telah menganut politik terbuka, semua golongan memiliki kesempatan sama untuk bersaing di panggung politik praktis, tidak ada lagi hambatan bagi umat islam membentuk partai politik, bahkan tidak ada halangan struktural bagi parpol islam untuk mengajak penganut agama lain memilih partainya.
            
Memetakan ulang hubungan islam dan Negara bukan merupakan tindakan kompromistis aportunistik, hal ini justru adalah sebuah usaha untuk tetap menjadikan islam memiliki pengaruh dalam Negara, dengan cara ini islam tetap mampu mempengaruhi kebijakan sistem, tanpa bermaksud mempersalahkan, jika islam tetap kukuh berdiri di luar sistem maka, tidak banyak hal yang bisa dilakukan, bahkan intervensi sistem pun tak dapat dilakukan, padahal kita semua menyadari bahwa kebijakan sistem sangat mempengaruhi nasib manusia yang berada di dalamnya, umat islam semestinya menyadari bahwa dirinya bukan pemilik tunggal bangsa ini, sehingga tidak menuntut hak privasi dari sisi komunitasnya saja, bila umat islam selalu menuntut hak privasi dari sisi komunitas islam saja maka, jangan mempersalahkan bila umat lain juga meminta hak privasi dari sisi agamanya, siapkah umat islam menghadapi hal tersebut? Atau keributan akan kembali dipilih sebagai jalan penyelesaian yang sangat tidak produktif? Umat islam memang mayoritas, namun bukan berarti ego mayoritas harus dikedepankan.

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT