BREAKING

Selasa, 21 Juni 2016

Jangan Panggil Aku Ustadzah

“Assalaamu ‘alaykum Ustadzah Uswa. Kian hari, kian cantik saja.” Goda seorang pria tambun yang sedang berkumpul bersama teman-temannya di pelataran kampus.

Aku menundukkan pandanganku dan mempercepat langkahku. Tak menggubris pria kurang kerjaan itu sama sekali.

Uswatun Hasanah. Itulah namaku. Nama yang amat dibanggakan Abahku, Jalaluddin Akbar. Umiku, Nadila Syamsiyah, telah bersama Allah saat ini, dalam surga-Nya. Aamiin.

Aku benci siapapun yang memanggilku Ustadzah. Aku mafhum, mereka seperti itu karena pakaian syar’i yang ku kenakan. Tapi semua itu tidak menjamin. Aku tak sebaik yang mereka kira. Aku gadis penuh dosa.

Aku tak pernah melakukan ini. Berduaan dengan lawan jenis di tempat sepi. Tersenyum manja padanya, memeluknya penuh cinta. Saat bersamanya, aku merasa teramat nyaman. Aku tak peduli lagi dengan hijabku ini.

Semua ini berubah saat Umi meninggal dunia. Aku menjadi gadis seperti ini karena tak ada Umi lagi yang menasehatiku. Abah? Dia terlalu sibuk dengan ceramahnya sampai melupakanku.

Itulah alasannya mengapa aku tak ingin dipanggil Ustadzah. Panggilan sederhana itu benar-benar menyayat hatiku. Oh tidak. Aku gadis berlumur dosa, amat tak pantas menyandang gelar suci itu. Andai mereka mengerti. Andai mereka memahaminya.

Pria yang membuatku jatuh hati itu, pria baik yang banyak menasehatiku perihal agama. Meski kami sering berdua-duaan, kami masih bisa mengontrol diri. Meski sesekali berpelukan dengan mesra.
Jika saja Umi masih hidup, ia pasti akan sangat marah melihat diriku yang sekarang. Umi pasti akan merasa menjadi orangtua yang gagal dalam mendidik anak.

Umi, maafkan anakmu ini. Gelar Ustadzah seperti yang Umi sandang, aku tak pantas menerimanya. Aku kotor Umi. Aku terlalu hina untuk gelar suci itu.

Seketika terdengar suara, entah dari mana asalnya. “Umi kecewa padamu Us. Kamu gadis yang Umi banggakan menjadi wanita sholihah seperti Fatimah Az-Zahra, kian terjerumus dalam kenistaan. Sadarlah Us. Apa yang kau dapat dari pria seperti itu? Renungkan Us, jika dia benar mencintaimu, dia tak akan pernah berani menyentuhmu, secuil pun.”
Keringat dingin membanjiri wajahku. Ah, hanya mimpi. Dan Umi, kata-katanya membekas dalam sanubariku.

Umi, ibu terhebat yang ku punya. Aku telah mengecewakannya. Dan aku akan mencoba, mencoba merubah diri, menjadi lebih baik. Bukan untuk mengharap panggilan suci nan baik itu. Sudah cukup, jangan lagi memanggilku Ustadzah.

Cerpen Karangan: Dian Antuala

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT