BREAKING

Rabu, 21 Desember 2016

Ketika Logika Perang Membantai Logika Kemanusiaan

Perang, kata yang selalu meninggalkan kesan ngeri, bukan hanya karena kerusakan yang terjadi saat aktifitas tersebut berlangsung, tapi juga dampak yang ditimbulkannya pasca kejadian tersebut. Dampak tersebut bisa berupa jangka pendek dan juga bisa berupa jangka panjang, perang bukan hanya menimbulkan kerusakan infrastruktur, lebih dari itu, perang juga menimbulkan kerusakan psikologi massa, khususnya dalam bentuk trauma. Beberapa tahun belakangan ini perang kembali menjadi pemandangan milyaran umat manusia. di beberapa Negara Arab, ketidakpuasan terhadap penguasa yang dimulai dengan protes massa justru berujung pada perang terbuka. Situasi menjadi semakin kompleks sebab ragam Negara terlibat dalam perang tersebut.

Eskalasi perang semakin meningkat saat Negara lain ambil bagian dalam perang di sebuah Negara. Dalam konteks Yaman misalnya, keterlibatan Iran dan Arab Saudi dalam perang menyeret Yaman dalam konflik berdarah yang belum usai, keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Libya mendatangkan masalah serius, walaupun secara umum perang terbuka telah berakhir, namun trauma pasca perang masih dirasakan anak-anak Libya. Yang terkini adalah perang Suriah, situasi di Suriah terbilang lebih kompleks dari Yaman dan Libya, aktornya juga lebih banyak, di satu sisi ada pemerintahan Assad yang berkoalisi dengan Rusia dan Iran, sedangkan di sisi lain ada kelompok perlawanan yang didukung Amerika Serikat, Arab Saudi beserta sekutunya. Terlepas dari kepentingan yang bermain, yang pasti dalam semua perang tersebut rakyat sipil selalu menjadi korban. dalam sebuah perang hampir susah berbicara benar salah, setiap kelompok pasti melakukan pembelaan, perang hanya menyisakan dua pilihan, membunuh atau dibunuh, baik membunuh maupun dibunuh sesungguhnya sama-sama membunuh logika kemanusiaan.

Pemihakan dalam sebuah perang adalah lumrah, sebagaimana lumrahnya untuk tidak melakukan pemihakan, setiap pihak berikut pendukung tak langsung dari pihak yang terlibat perang, pasti akan melakukan pertarungan opini demi memenangkan klaimnya. Hal itu juga bisa kita cermati di Indonesia, saat Yaman, Libya, dan Suriah terjatuh ke dalam pusaran perang, warga Indonesia selalu terbelah dalam dua kutub, antara yang mendukung otoritas resmi dan yang mendukung kelompok perlawanan. Kedua kelompok ini terlibat pertarungan opini secara sengit di media sosial, ragam argumentasi dilontarkan guna mendukung klaimnya. Perang dunia nyata menjalar ke dunia sosial, dan pada saat yang sama, mereka seolah lupa, bahwa siapapun kelompok yang dibela, nyawa warga sipil tetap berjatuhan, energi yang seharusnya digunakan untuk memikirkan nyawa warga sipil, justru terkuras unntuk membenarkan klaim kelompok yang didukung dalam perang, seolah kita telah tertular pula oleh logika perang, dan pada saat yang sama, logika kemanusiaan kita semakin meradang.

Perang yang kini terjadi di Negara tertentu memang harus diakhiri, tapi mengakhirinya bukan dengan perang, tapi dengan konsensus perdamaian yang adil, kemenangan dalam perang selalu melahirkan perang lanjutan, terkadang perang muncul sebagai pilihan paling akhir, dan terkadang orang-orang terpaksa menjalaninya, namun perang juga tak boleh dirawat, harus ada upaya serius mengakhirinya, tapi hal tersebut akan susah terjadi saat masih ada intervensi negatif pihak luar, perdamaian yang adil hanya akan terjadi saat yang terlibat dalam proses perdamaian hanya pihak internal Negara tersebut. Kita seharusnya tidak lupa bahwa, perang yang paling adil sekalipun masih lebih buruk dibandingkan perdamaian yang paling buruk.     

Penulis: Zaenal Abidin Riam
Ketua Komisi Pengembangan Cabang PB HMI MPO Periode 1437-1439 H/2015-2017 M

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT