BREAKING

Selasa, 14 Februari 2017

Negara Yang Belum Selesai


Sejak menjelang kemerdekaan, perdebatan tentang format negara ideal telah meruncing, tokoh perjuangan kemerdekaan di masa itu tak menemui kata sepakat, setiap pihak melontarkan argumentasi demi membenarkan klaimnya, perdebatan ini terus berlangsung menjelang detik-detik proklamasi, untungnya di masa genting tersebut dicapai sebuah kompromi, kompromi ini sesungguhnya bersifat sementara, sekadar memuluskan jalan deklarasi NKRI. Sebab sifatnya yang sementara, maka sudah diprediksi perdebatan tersebut kembali memanas pasca proklamasi, pihak yang merasa aspirasinya belum terpenuhi terus melakukan tuntutan, dalam kondisi seperti ini,ruang diskursus yang adil dan objektif seharusnya kembali dibuka oleh penguasa di masa itu, namun sayang ruang tersebut tak pernah benar-benar dibuka secara serius.

Dalam konteks dasar negara, perdebatan tak ada lagi, semua kelompok sepakat bahwa pancasila adalah pilihan tepat, namun lain halnya dengan isi sila dalam pancasila, khususnya sila pertama, kalimat dan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya, yang seharusnya ada setelah kalimat ketuhanan yang maha esa, namun dihilangkan secara sepihak,  memicu perdebatan yang tidak selesai hingga kini, walaupun tidak bisa dinafikan kelompok islam tertentu di Indonesia tak lagi mempermasalahkan hal tersebut, namun kelompok islam yang lain, baik yang berada dalam lingkaran islam politik, maupun yang berada diluaranya, terus mempertanyakan penghilangan sepihak tujuh kata dalam sila pertama pancasila, mereka terus berjuang agar tujuh kata itu dikembalikan pada sila pertama, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan perjuangan ini, terlebih bila ditempuh melalui jalur konstitusional, yang salah ketika perjuangan mereka dihalangi dengan alasan yang tidak logis, terlebih ketika motifnya lebih pada pembungkaman.

UUD yang belaku hari ini juga mengandung masalah serius, tafsir yang semakin liberal terhadap UUD berpotensi membunuh karakter UUD itu sendiri, UUD seolah menjadi bebas tafsir, setiap penguasa melakukan tafsir berdasarkan kepentingan dan selera kekuasaannya, tak bisa dipungkiri, pasca jatuhnya Soekarno, tafsir UUD menjadi semakin lepas, tafsir tersebut sarat nuansa liberalistik, hal itu berlangsung hingga kini. Oleh sebab itu tuntutan agar kembali kepada UUD 1945, yang belakangan ramai disuarakan, terlihat sangat logis. Mata kita telah melihat, betapa mengerikan efeknya ketika UUD dasar ditafsir dengan corak liberalistik, yang terjadi justru UUD menjadi alat legitimasi kepentingan neoliberalisme, perampasan sumber daya alam, pengelolaan ekonomi yang tidak benar-benar berpihak kepada rakyat, konstruksi SDM yang semakin liberal, semuanya dikemas dengan regulasi yang diklaim sebagai tafsiran lebih lanjut dari UUD, memang sangat miris, namun itulah faktanya.


Wajar bila Soekarno menganggap Indonesia adalah negara yang belum selesai, walaupun dalam realitasnya, Soekarno juga terlibat dalam kegaduhan yang menyebabkan negara jauh dari kata selesai, Indonesia adalah sebuah negara yang masih terus berproses menuju “kemenjadiannya” Indonesia hari ini belumlah Indonesia yang diimpikan bersama para pendiri bangsa, Indonesia hari ini lebih banyak menyimpang dari jalannya, jalan yang seharusnya dilalui menuju Indonesia yang sebenarnya, Indonesia hari ini lebih banyak disibukkan dengan kegaduhan politik jangka pendek, kegaduhan yang sangat tidak substantif, pihak yang terlibat gaduh sesungguhnya menyadari kesia-siaan dari kegaduhan tersebut, mereka sebenarnya sadar bahwa kegaduhan tersebut hanya merupakan ajang pertarungan supremasi kepentingan.    

Penulis: Zaenal Abidin Riam
Ketua Komisi Pengembangan Cabang PB HMI MPO Periode 1437 - 1439 H/2015 - 2017 M

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT