BREAKING

Minggu, 19 Februari 2017

SARA, Antara Label dan Fakta


Sara, kata yang sangat populer akhir-akhir ini, sara menegaskan larangan diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.Secara konseptual tidak ada yang salah dengan kata tersebut, diskriminasi dalam bentuk apapun memang tak ada ruang pembenarannya, itu sudah menjadi kesepakatan umum bagi mereka yang berakal sehat, bahkan sebelum kemunculan kata sara. Prinsip yang berupaya dihidupkan dalam konsep sara adalah keadilan, adil dalam konteks ini bukan berarti sama rata sama rasa, namun adil yang dimaksudkan lebih kepada memastikan hak setiap kelompok terpenuhi tanpa mengganggu kelompok lainnya, ini merupakan makna adil yang lebih objektif.

Masalah kemudian muncul saat istilah sara diberlakukan dalam kehidupan nyata, batasan-batasan sara sering kabur, bahkan liar dalam banyak kondisi. Sara pada posisi fakta sering digunakan guna menjatuhkan kelompok lain, memangkas hak kelompok lain, parahnya lagi semua itu dilakukan demi mencapai kepentingan jangka pendek. Tak perlu jauh berkaca, ambil contoh dalam proses politik, isu sara sangat rawan digunakan untuk menjatuhkan lawan politik, salah satu bentuk konkritnya, pelaku politik yang mengidentifikasi dirinya dari kelompok minoritas, acap kali menggunakan sara sebagai perisai sekaligus senjata menyerang rival politknya, dan di saat yang bersamaan, kelompok mayoritas juga tak jarang menggunakan tindakan yang sama.

Dinamika mayoritas dan minoritas dalam konteks Indonesia, merupakan masalah tersendiri, bila salah urus, dinamika mayoritas dan minoritas akan berujung konflik, sentimen sara sangat gampang muncul dalam hubungan mayoritas dan minoritas. Penggunaan label sara yang tidak tepat berpotensi menimbulkan gesekan serius, bila dikaitkan dengan kasus terkini, pilihan terhadap kandidat tertentu dalam pilkada karena pertimbangan agama, yang mana pilihan ini sering dinilai sara, adalah sebuah penilaian yang tidak tepat, terlampau keliru bila menganggap pilihan individu karena pertimbangan agama adalah bagian dari sara yang berbahaya, kita seharusnya sadar, bahwa pemilih memiliki kebebasan menentukan pilihan berdasarkan kecenderungannya, bila pertimbangannya adalah kecenderungan agama, maka hal itu sah dan benar, justru yang tidak benar adalah, saat muncul upaya untuk menggiring opini, seolah calon pemimpin bersih hanya ada di agama tertentu dan tidak ada di agama lain, cara ini bukan saja tidak benar tapi juga rawan memicu gesekan, terlebih bila yang disindir agama mayoritas, cara seperti ini wajib ditinggalkan, terlampau kolot untuk kesehatan demokrasi di Indonesia.


Semua elemen masyarakat perlu menjaga diri dari konflik berbau sara, akan tetapi harus diingat pula, implementasi sara harus berimbang dan objektif, salah bila memberikan label sara kepada individu atau kelompok, yang mengambil pilihan dalam arti luas, berdasarkan kecenderungan suku, agama, ras, atau golongannya. Semestinya hal tersebut dipandang sebagai hak yang perlu dihormati, yang patut dianggap keliru bila agama secara benderang digunakan menindas agama lain, suku yang satu mengintimidasi suku yang lain, ras yang satu memperlakukan lebih rendah ras yang lain, golongan yang satu menghujat golongan yang lain. Ini baru kategori sara yang sebenarnya, karena semuanya bisa diklasifikasikan sebagai kekerasan, baik secara verbal maupun non verbal. berhentilah memberikanlabel sara, karena label sara belum tentumerupakan fakta dari sara itu sendiri, label hanya buatan yang takmungkin lepas dari kepentingan, bukan kenyataan, yang nyata adalah fakta itu sendiri, sebab disanalah yang apa adanya terjadi.

Penulis: Zaenal Abidin Riam
Ketua Komisi Pengembangan Cabang PB HMI MPO Periode 1437 - 1439 H/2015 - 2017 M

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT