BREAKING

Kamis, 20 Juli 2017

Idul Fitri dan Dilema Kemenangan


Ramadhan baru saja berlalu, umat islam menjalankan puasa selama sebulan penuh, lalu ditutup dengan perayaan Idul Fitri, momen yang dianggap sebagai perayaan kemenangan, kemenangan terhadap diri sendiri dan di luar diri. Bagi umat islam puasa merupakan salah satu ibadah utama, ajang untuk melatih diri, dan sebagaimana lazimnya, setiap latihan pasti menyisakan predikat lulus dan tidak lulus, yang paling tahu lulus dan tidak lulusnya seseorang dalam menjalani latihan adalah dirinya sendiri dan Tuhannya, kelulusan itulah yang dirayakan dalam momen idul fitri, lulus berarti merasa menang.
Pada dasarnya tidak semua orang yang merayakan Idul Fitri adalah manusia pemenang, yang kalahpun merayakan momen tersebut, disini letak pentingnya mengevaluasi perasaan menang kita, mungkinkah kita benar-benar menang atau tidak, caranya sangat sederhana, cukup mengevaluasi ibadah kita selama ramadhan, total atau tidak. Pemenang sejati dari ramadhan tidak akan pernah merasa menang, justru sebaliknya, mereka akan selalu merasa kalah, mereka akan selalu merasa ibadahnya jauh dari maksimal selam ramadhan, walupun di mata orang lain ibadahnya dianggap sudah sangat maksimal. Jadi sebaiknya berhati-hatilah dengan perasaan menang di hari idul fitri, boleh jadi itu pertanda kekalahan yang nyata.
Perasaan menang di hari fitri perlu dievaluasi kembali, lebih jauh kita patut bertanya, apa yang kita menangkan ? pertanyaan ini menjadi urgen khususnya saat dikaitkan dengan substansi tujuan puasa, yakni latihan mengendalikan hawa nafsu secara utuh, bila kita membuka cara pandang secara lebih luas, maka akan dijumpai realitas bahwa nafsu masih menjadi pemenang setelah ramadhan, buktinya kemiskinan masih merajalela, keserakahan terhadap kekuasaan masih kuat, ketidakadilan masih nyata, serta jenis pemandangan pahit lainnya, bukankah semua pemandangan tersebut merupakan konsekuensi dari berkuasanya nafsu. Hasrat menumpuk harta secara berlebihan sambil mematikan rasa kepedulian terhadap sesama melahirkan kemiskinan, ambisi kekuasaan yang tidak terkontrol melahirkan keserakahan terhadap kekuasaan, menempatkan kepentingan di atas apapun menyebabkan lahirnya ketidakadilan.
Pemahaman terhadap kontrol hawa nafsu perlu diperluas, bukan hanya kontrol terhadap nafsu pribadi, tetapi juga kontrol terhadap nafsu orang lain, mengontrol nafsu pribadi lebih identik dengan menyelamatkan diri sendiri walaupun tidak sepenuhnya benar, membiarkan nafsu orang lain tak terkontrol padahal kita bisa melakukannya berarti membuka peluang lahirnya kemungkaran, sungguh tidak etis membiarkan kemungkaran bersolek ria selama ramadhan, mereka yang mampu mengontrol nafsunya dan membantu orang lain mengontrol nafsunya, boleh disebut sebagai pemenang di hari fitri, namun orang seperti ini sudah pasti tidak akan merasa dirinya menang, justru mereka selalu merasa kalah.
Idul Fitri seharusnya dilihat sebagai momen ekspresi syukur, yang berpuasa maksimal bersyukur mampu melakukannya, sedangkan yang belum mampu berpuasa maksimal juga bersyukur setidaknya masih dipertemukan dengan Idul Fitri, bagi mereka idul fitri menjadi momen evaluasi diri dari ketidakmaksimalan puasanya. Jadi levelnya diturunkan satu tingkat, bukan lagi soal kemenangan, sebab sepertinya kemenangan bukan maqam manusia awam, tetapi kesyukuran, syukur lebih bisa dijangkau oleh manusia awam.
Penulis: Zaenal Abidin Riam


About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT