Postmodernisme sebagai sebuah
diskursus mutakhir dalam dunia intelektual telah mendatangkan implikasi
signifikan serta turut mempengaruhi arah bandul historisitas diskursus kedepan,
postmodernisme lahir sebagai sebuah penentangan terhadap modernisme yang
melakukan penjelmaan diri sebagai penafsir tunggal kebenaran universal. Secara historis
aliran pemikiran ini pertamakali muncul atas prakarsa para sastrawan (juga
seniman) yang tidak menerima pendisiplinan ketat dalam dunia keilmuan yang
digelutinya, dalam realitasnya memang sebagian besar pemikir post modernisme
berasal dari latar belakang sastra. Seiring dengan perkembangan diskursus,
berbagai apresiasi menghinggapi postmodernisme namun sebuah kejanggalan karena
sebagian besar apresiasi tersebut lebh mengidentikkan postmodernisme dengan hal
destruktif, ujungnya ketika ada individu yang melakukan tindakan – tindakan tidak
lazim maka dengan segera streotip postmodernis akan dilekatkan kepadanaya.
Kondisi inilah yang pernah menyebabkan Derrida mengeluh karena istilah “dekonstruksi” yang dipopulerkannya seringkali disalahpahami oleh para mahasiswa prancis kala itu, di tangan mereka “dekonstruksi” selalu dikonotasikan dengan tindakan merusak padahal Derrida sendiri tidak pernah menjelaskan makna dekonstruksi secara rinci (bahkan ia cenderung menghindarinya) karena hal itu memang menjadi ciri tersendiri dari para pemikir postmodernis yang karya – karyanya selalu tidak tersusun secara sistematis sebagai bagan dari tindakan melawan arus kemapanan (berbeda dengan pemikir modernis yang selalu menyusun karyanya secara sistematis dan ketat), untuk konteks hari ini seharusnya kita butuh melakukan pembacaan lebih kritis terhadap postmodernisme, dalam realitasnya secara tak sadar pengagum postmodernisme justru sering mengkonsumsi berbagai buku yang sampulnya bertemakan postmodernisme namun isinya disusun dengan metode modernis (mungkin juga termasuk tulisan ini), demikian pula pengkajian terhadap postmodernisme justru terkadang menggunakan gaya modernisme.
Kondisi inilah yang pernah menyebabkan Derrida mengeluh karena istilah “dekonstruksi” yang dipopulerkannya seringkali disalahpahami oleh para mahasiswa prancis kala itu, di tangan mereka “dekonstruksi” selalu dikonotasikan dengan tindakan merusak padahal Derrida sendiri tidak pernah menjelaskan makna dekonstruksi secara rinci (bahkan ia cenderung menghindarinya) karena hal itu memang menjadi ciri tersendiri dari para pemikir postmodernis yang karya – karyanya selalu tidak tersusun secara sistematis sebagai bagan dari tindakan melawan arus kemapanan (berbeda dengan pemikir modernis yang selalu menyusun karyanya secara sistematis dan ketat), untuk konteks hari ini seharusnya kita butuh melakukan pembacaan lebih kritis terhadap postmodernisme, dalam realitasnya secara tak sadar pengagum postmodernisme justru sering mengkonsumsi berbagai buku yang sampulnya bertemakan postmodernisme namun isinya disusun dengan metode modernis (mungkin juga termasuk tulisan ini), demikian pula pengkajian terhadap postmodernisme justru terkadang menggunakan gaya modernisme.
Sepintas lalu ketika orang membaca wacana postmodernisme maka ia terkadang berujung pada kekecewaan apalagi jika pembaca tersebut mengharapkan solusi paten darinya, kemudian dengan tergesa – gesa berasumsi bahwa postmo (postmodernisme) hanyalah pekerjaan dari orang – orang yang iseng dalam berwacana, ia tak lebih dari permainan intelektual belaka, benarkah postmo senihil itu? Menurut hemat penulis, seorang pembaca idealnya memahami terlebih dahulu terma postmodernisme (walaupun tidak ada kesepakatan umum) sebelum mennyelaminya lebih dalam termasuk menyingkirkan terlebih dahulu semua metode modernisme yang selam ini terkonstrik rapi dalam mindsetnya (baku dan kaku bukan bagian dari postmodernisme). Dalam perspektif penulis, postmodernisme bukanlah sebuah wacana nihil yang tidak memberikan tawaran apapun, hanya saja tawaran yang diberikan bukan tawaran baku yang bisa diberlakukan secara universal sebab alih – alih memberikan tawaran universal postmodernisme justru berusaha menghidupkan narasi lokal/pinggiran sebagai solusi bagi setiap wilayah karena menurut pandangan postmodernisme tidak ada satu narasipun yang benar – benar berhak dan mampu menjadi solusi bagi seluruh umat manusia (anti meta narasi), latar belakang kondisi sosial serta tradisi yang beragam menjadi salah satu penyebabnya.
Berangkat dari pandangan ini, postmodernisme kemudian manyatakan penentangannya terhadap modernisme karena ia dianggap telah melakukan overgeneralisasi terhadap segala bentuk persoalan dengan menjadikan dirinya sebagai tolak ukur kebenaran tunggal. Ilustrasi berikut ini akan sedikit membantu pemahaman kita, seseorang yang hidup di pedalaman Indonesia ingin memecahkan suatu masalah sosial dalam lingkungannya dengan menggunakan teori max weber (atau siapa saja yang sepadan dengannya) yang hidup di eropa sana, pertanyaan kemudian, cukup mampukah teori weber menjadi problem solving dalam masalah yang duhadapinya padahal konteks social antara eropa dan Indonesia jauh berbeda? Belum lagi weber melahirkan teori sosial di abad yang berbeda dengan abad yang ia jalani, apa tidak lebih baik jika ia berusaha memecahkan masalah tersebut berdasarkan tradisi yang ia miliki? Sebab sebenarnya dirinyalah yang paling paham dengan masalah tersebut sehingga khazanah pemikiran yang lahir dari komunitasnya lebih cocok dijadikan sebagai solusi dari masalah tersebut. Singkatnya anggapan bahwa postmodernisme tidak memberikan tawaran lebih dikarenakan oleh mindset (pola pikir) kita yang terlanjur terkonstruk dengan gaya yang sangat modernistik sehingga secara tak sadar alibi alam bawah sadar cenderung memaksakan sebuah teori berlaku secara universal padahal justru fenomena itulah yang dibantah oleh postmodernisme karena tidak ada satu metanarasipun yang mampu dan berhak menjadi tendensi kebenaran universal.
Penulis: Zaenal
Abidin Riam
Posting Komentar