Hidup
sunyi senyap
Dalam
padang ramai
Di
kolom pekat gulita
Bermandikan
sinar purnama
Menerangi
wajah
Yang
kian pekat
Terselimut
awan tebal
Ia
bisa terang, dalam lautan cahaya, seharusnya
Terang
adalah aura
Siapa
tak merindu aura?
Aura
kebaikan, positif katanya
Cahaya
kecerdasan, intelek nuansanya
Ia
pun ingin, sangat, dengan segumpal hasrat
Hasrat
bermandikan cahaya, menyerap segala aura, yang katanya baik
Tapi
apa daya, hasrat itu jatuh ke pelukan gundik
Tempat
mereka memadu nafsu, meyemainya dan menaburnya
Gelap
dan terang jelas di mata balita
Bahkan
di mata si buta
Lalau
kenapa kau mengaburkannya?
Menyuruhnya
bermandikan cahaya padahal kau memberinya gulita
Kau
pikir gelap sekedar warna?
Bukan…gelap
adalah kasta, kasta si miskin, si pinggiran
Lalu
kenapa kau cipta kasta?
Siapa
butuh? Ia tidak
Kasta
itu hanya untuk makhluk tanpa akal, tanpa rasa dan kesadaran
Lalu
kenapa kau pelihara di ranjang empukmu?
Kenapa?..kenapa?...dan
lalu kenapa?...
Ah
sudahlah, mulutmu tertutup rapat, tak satu kata menari darinya.
Zaenal Abidin Riam, Makassar 15 Mei
2013.
Posting Komentar