Masih segar teringat di benak rakyat Indonesia, Jokowi saat menjadi
capres, mengusung janji kemandirian, janji kemandirian tersebut diformat dalam
konsep trisakti. Janji tersebut selalu disampaikan dalam berbagai kampanye di
masa itu, juga dalam debat kandidat yang dihelat secara resmi oleh KPU. Janji kemandirian
inilah yang menyebabkan banyak rakyat Indonesia, termasuk kelas menengah atas,
menjatuhkan pilihan kepada Jokowi dalam pilpres 2014. Kini setelah usia
pemerintahan Jokowi memasuki tahun ketiga, janji kemandirian tersebut belum
benar-benar terlihat. Perubahan kiblat kerjasama ekonomi dari Amerika Serikat
ke China, tak mengubah pola relasi ekonomi Indonesia, utang tetap menjadi ciri
utama dari kerjasama ekonomi tersebut.
Sebagai negara yang sedang naik daun, China menjadi sorotan semua
negara di dunia, tak terkecuali Indonesia, dan pada saat yang sama, Amerika
Serikat sedang mengalami penurunan, bahkan Donald Trump secara tegas menekankan
kebijakan pemerintahannya akan lebih fokus pada kondisi dalam negeri Amerika
Serikat, sebuah kondisi yang tidak lazim bagi negara yang gemar mengintervensi
kebijakan negara lain dalam berbagai sisi. Boleh jadi kondisi penurunan yang
dialami Amerika Serikat, merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan kiblat
kerjasama ekonomi Indonesia, selain karena dalam lingkaran kekuasaan Jokowi
banyak pihak yang memang pro China, baik yang berada dalam struktur formal kekuasaan,
maupun yang berada di luar struktur formal kekuasaan.
Ada satu pertanyaan yang paling sering terdengar, apakah kerjasama
dengan China menguntungkan Indonesia dari sisi kemandirian? Ini bukan
pertanyaan yang sangat sulit, menjawabnya juga tak perlu analisa nyelimet, cukup
melihat fakta yang ada sebagai buah dari kerjasama ini, hal utama yang tak bisa
ditutupi, kerjasama dengan China juga tetap menggunakan perspektif utang,
bantuan yang diberikan kepada Indonesia mayoritas dalam bentuk utang, jumlahnya
cukup fantastis, belum lagi bunganya yang cukup besar pula, masalah tidak berhenti
hingga disitu, utang plus bunga yang besar juga disertai dengan pengiriman
tenaga kerja asing asal China, proyek-proyek yang dijalankan oleh China,
melibatkan buruh asal China, termasuk untuk pekerjaan ringan, buntutnya
Indonesia kebanjiran tenaga kerja asing, dan pada saat yang sama masih terlalu
banyak Rakyat Indonesia yang butuh lapangan kerja, sungguh bukan pemandangan
yang nyaman.
Kini kita beralih ke Arab Saudi, kedatangan Raja Salman ke
Indonesia, memunculkan harapan besar bagi rakyat Indonesia, banyak pihak
menganggap Arab Saudi merupakan solusi dibandingkan China, terlebih bila
dikaitkan dengan bantuan termasuk investasi yang akan ditanam Arab Saudi di
Indonesia, bantuan dan investasi tersebut jauh lebih besar dibandingkan
investasi China di Indonesia, belum lagi menurut kabar yang tersiar bantuan
Arab Saudi tak disertai bunga, juga tak disertai dengan impor tenaga kerja
asing, tentunya merupakan keuntungan tersendiri bagi Indonesia, namun jangan
lupa, bantuan yang diberikan kepada Indonesia ada juga yang dalam bentuk utang,
hal itu berarti Indonesia juga akan berutang ke Arab Saudi, kondisi ini juga
menegaskan bahwa paradigma utang dalam membangun kerjasama dengan negara lain,
masih menjadi ciri khas. Apakah ini benar-benar menguntungkan dari sisi
kemandirian?
Lalu kini kita perlu bertanya, dimana relevansi kemandirian dalam
kerjasama yang masih menggunakan perspektif utang? Disini kita tidak berupaya
mengunggulkan Arab Saudi dibandingkan China, yang ingin ditekankan bahwa
kerjasama dalam bentuk apapun yang masih menggunakan logika utang, tak sejalan
dengan cita-cita kemandirian, pemerintahan ini sudah terlampau jauh keluar dari
koridor kemandirian, tapi belum terlambat untuk kembali, dan semoga masih ada
upaya serius untuk kembali ke jalur kemandirian yang sesungguhnya.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Ketua Komisi Pengembangan Cabang PB HMI MPO Periode 1437 - 1439 H/2015 - 2017 M
Posting Komentar