Bola
Panas Itu Bernama E-KTP
Kasus e-KTP menjadi perbincangan hangat belakangan
ini, media mainsteam baik cetak dan elektronik memberikan tempat khusus bagi
isu ini di media mereka. Kasus e-KTP mulai tercium pada September 2012, saat
itu ditemukan sejumlah kejanggalan dalam pembahasan anggaran, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) juga mencium adanya kejanggalan dalam proses tender,
dari sini kasus e-KTP kemudian terus berkembang, awalnya Komisi Pemberantasan
Korupsi hanya mendakwa dua orang mantan pejabat Dirjen Dukcapil Kemendagri,
mereka adalah Irman dan Sugiharto, Irman merupakan mantan Dirjen sedangkan
Sugiharto adalah mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi
Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri.
Keterangan Irman dan Sugiharto di persidangan ibarat
bola salju, dalam perkembangan selanjutnya banyak nama besar yang turut
terseret, ada yang berasal dari kalangan eksekutif dan adapula dari kalangan
legislatif. Sebagaimana lazimnya nama-nama yang disebut pasti melakukan
penolakan, mengeluarkan berbagai macam dalih bahwa dirinya tidak terlibat,
ragam argumentasi dibangun guna membenarkan bahwa dirinya bersih dari kasus
e-KTP, pada dasarnya penolakan dan argumentasi tersebut sah saja sepanjang
belum ada status hukum terhadap nama-nama tersebut, pada nantinya hukum juga
yang akan menguji kebenaran argumentasi mereka, benarkah tidak terlibat atau
justru sebaliknya.
Penetapan Setya Novanto sebagai tersangka kasus
e-KTP, menandai babak baru dalam kasus ini, mantan Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat RI ini merupakan orang besar pertama yang dijerat oleh komisi anti
rasuah, walaupun sempat lolos dalam penetapan tersangka yang pertama, namun KPK
kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka untuk kedua kalinya. Aroma
intervensi terhadap KPK dalam kasus penetapan Novanto sebagai tersangka sangat
terasa, ada kekuatan besar yang berupaya bermain untuk mengamankan Novanto agar
tidak menjadi tersangka, di bagian ini akan muncul pertanyaan besar dari publik,
ada apa gerangan? Mungkinkah Novanto merupakan pintu masuk untuk menyeret nama
besar lainnya dalam kasus e-KTP? Proses persidangan yang akan menjawabnya.
Jangan
Mau Terjerat Sendiri
Setya Novanto sepertinya sadar betul, bahwa
menjadikan dirinya sebagai korban tunggal, sama sekali bukan pemikiran cerdas.
Sebagai seorang yang telah berstatus tersangka dengan bukti yang kuat, Setya
Novanto pasti paham betul siapa saja yang terlibat dalam kasus ini, siapa saja
yang dengan sadar dan sengaja mengais untung dari kasus ini, nama- nama
tersebut harus dipublikasikan secara terang oleh Novanto, Setnov tidak perlu
lagi berhitung untung rugi, toh dirinya sudah terlanjur basah, sudah terlanjur
menjadi pesakitan dalam tahanan KPK, justru yang perlu dipikirkan oleh Novanto
adalah nasib rakyat Indonesia, betapa banyak rakyat yang dirugikan dalam kasus
ini, tidak sedikit masyarakat yang e-KTP nya belum keluar hingga hari ini,
padahal mereka telah berbulan-bulan mengurusnya, masyarakat awam sudah
terlanjur menganggap mega korupsi e-KTP merupakan penyebab molornya mereka
mendapatkan e-KTP. Di sisi lain Setya Novanto juga perlu menyadari bahwa negara
mengalami kerugian yang sangat besar dalam kasus ini, uang negara dirampok
secara beramai-ramai.
Pernyataan Setya Novanto beberapa waktu lalu, bahwa
dirinya akan membuat daftar nama-nama yang terlibat dalam kasus e-KTP perlu
diapresiasi, pernyatan tersebut kemudian dibuktikan oleh yang bersangkutan
dalam sidang kasus e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Kamis 23
Maret 2018. Apa yang dilakukan oleh Setya Novanto merupakan sebuah langkah
maju, itu artinya politisi Partai Golongan Karya ini sudah mulai bernyanyi,
dalam keterangannya Novanto menyebut ada sepuluh nama selain dirinya yang
terlibat dalam kasus e-KTP, yang istimewa karena dua petinggi dalam kabinet
Presiden Joko Widodo turut disebut Novanto, Yakni Puan Maharani dan Pramono
Anung, Pramono sendiri langsung mengeluarkan reaksi keras atas penyebutan
namanya oleh mantan Ketua Fraksi Partai Golkar itu, Pramono balik menuding
Novanto yang menurutnya berbicara tanpa bukti, pada hakikatnya reaksi Pramono
terbilang biasa saja, semua orang pasti akan menolak namanya disebut dalam
kasus yang sedang heboh ini, namun sekali lagi hukum yang akan membuktikannya.
Jika diamati dengan seksama, pengakuan Setya Novanto
masih terbilang belum benar-benar serius, terbukti di pengadilan Tipikor
kemarin Novanto masih berupaya mengelak seolah dirinya tidak menerima uang
dalam kasus e-KTP. Pernyataan Novanto ini merupakan langkah mundur, dirinya
hampir tidak punya celah untuk bebas dalam kasus ini, bukti yang dimiliki KPK
yang mengarah kepada Novanto sangat kuat, Novanto yang awalnya sudah bergerak
maju dengan komitmennya untuk menyebut nama-nama yang terlibat e-KTP, justru kembali
bergerak mundur dengan menampik dirinya menerima sejumlah uang dalam perkara
e-KTP, jadi nyanyian Setya Novanto adalah nyanyian maju mundur, iramanya
terkadang keras tapi bisa pula sewaktu-waktu lambat, semoga saaj ke depannya
irama nyanyian Novanto kencang lagi.
Pertaruhan
Wibawa KPK
Terlepas dari kuat tidaknya pernyataan Setya Novanto
terkait sepuluh nama yang ia sebutkan, Komisi Pemberantasan Korupsi tetap perlu
menindaklanjuti nama-nama tersebut, terserah apakah semua nama yang disebut
Novanto nantinya terbukti atau hanya sebagian saja, biarlah proses hukum yang
akan menentukan. Kesepuluh nama tersebut sudah pasti merasa terbebani dengan
pernyataan Novanto, beban itu hanya bisa dihilangkan dengan pembuktian hukum.
Adalah tidak tepat bagi KPK bila hanya karena merasa keterangan tersebut tidak
kuat sehingga diabaikan begitu saja, hal itu sama saja mengabaikan energi KPK yang
sudah banyak terbuang untuk kasus ini.
Bagaimanapun mega korupsi e-KTP merupakan pertaruhan
wibawa bagi KPK, bila KPK mampu menuntaskan kasus ini, maka kepercayaan publik
terhadap KPK akan kembali menguat, namun bila tidak, maka kepercayaan publik
akan semakin tergerus. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tingkat kepercayaan
publik terhadap KPK di masa Abraham Samad berbeda dengan di masa sekarang di
bawah komando Agus Rahardjo, penyebabnya sederhana, KPK di bawah kepemimpinan
Agus Rahardjo dianggap kurang memiliki taring dalam menumpas kasus korupsi
berskala besar di Indonesia, ini memang hanya merupakan perasaan publik saja,
tetapi tidak tepat bila diabaikan begitu saja, KPK harus ingat bahwa dalam
sejarahnya masyarakat beberapa kali berdiri paling depan dari ancaman pelemahan
terhadap KPK, KPK tidak akan mungkin kuat tanpa kuatnya dukungan masyarakat,
jadi tunjukkan kembali taringmu KPK, karena kekuatan taringmu menentukan
wibawamu.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar