Dunia aktivisme merupakan masa yang sangat indah
bagi mereka yang pernah mengalaminya, memang dari luar terkesan sangat tidak
nyaman, selalu diperhadapkan dengan situasi serba kekurangan, berhadapan dengan
tekanan dan intimidasi kekuasaan, namun kondisi inilah yang menyebabkan
menguatnya spirit perjuangan, semuanya dihadapi tanpa rasa takut, ini adalah
kenikmatan yang sangat sulit didapatkan.
Sudah menjadi kelaziman, tidak semua aktivis terus berada dalam dunia aktivisme, ada
masanya ketika mereka harus beralih ke dunia lain, dunia profesional atau dunia
lain. Tidak ada yang salah dengan hal itu, itu adalah hukum alam, hukum
perubahan, yang terpenting prinsip penentangan terhadap kezaliman tetap bisa
dipertahankan.
Kapitalisme adalah kata yang tidak pernah
diterima dalam dunia aktivisme, bahkan Kapitalisme sudah sejak dahulu didaulat
sebagai musuh utama aktivis, namun saat eks aktivis masuk ke dunia nyata dengan
latar profesi yang berbeda, pengaruh Kapitalisme akan terasa semakin kuat,
bahkan sudah merasuk ke dalam diri tanpa disadari, disinilah ujian prinsip itu
dilihat, bertahan atau berkompromi? Kenyataannya tidak sedikit eks aktivis yang
memilih berkompromi dengan Kapitalisme, adapula yang bahkan menyerah, pikiran
kritis mereka terhadap kapitalisme lambat laun semakin redup, lalu beralih
sebagai pembenaran terhadap kapitalisme, alasannya sederhana dan klasik
"ini adalah dunia nyata yang tidak bisa dihindari" Sikap radikalnya
terhadap kapitalisme menjadi hilang, berganti dengan sikap kompromistis yang
sebenarnya lebih sebagai pembenaran terhadap kapitalisme, mereka terjebak dalam
Normalisasi Kapitalisme, sebuah tahap menerima Kapitalisme secara lambat laun.
Benarlah kiranya pepatah lama, pepatah ini juga
sering didengungkan di dunia aktivisme "jangan nilai idealismemu saat di
dunia aktivis, tapi nilailah saat engkau sudah tidak disebut lagi sebagai
aktivis" Godaan untuk mempertahankan prinsip kebenaran sebenarnya berada
saat kita telah kembali ke tengah keluarga, bukan saat masih meneriakkan kata
perlawanan secara lantang di kampus.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar