Indonesia modern adalah sebuah Negara yang
menganut sistem demokrasi, demokrasi merupakan konsensus bersama yang dicapai
melalui pergulatan panjang sejak masa Soekarno, tentu tanpa mengabaikan adanya ketidaksepahaman
pada kelompok tertentu. Belakangan demokrasi yang berlaku di Indonesia menuai
banyak pertanyaan, mulai dari sejauh mana keberhasilan penerapannya, hingga
yang lebih ekstrim adalah pertanyaan yang bermuara pada kesimpulan bahwa
demokrasi sudah perlu diganti dengan sistem lain. Sebagai sebuah Negara
demokratis tentu pertanyaan seperti itu tidak layak ditangani dengan
pembungkaman, justru hal itu mencerminkan sisi kemunafikan dari pemberlakuan
demokrasi yang mengedepankan kebebasan berpendapat.
Ada baiknya kita mengevaluasi konsep dan
pemberlakuan demokrasi di Indonesia, hal ini penting agar perbaikan dapat
dilakukan pada diri demokrasi. Demokrasi hari ini mengalami ragam krisis, dari
sekian banyak krisis ada dua krisis yang mengemuka, yakni krisis legitimasi dan
krisis efisiensi. Tingginya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga demokrasi
semisal parlemen merupakan bukti krisis tersebut. Rendahnya kinerja dewan dalam
memproduk legislasi serta cost politik yang terlampau tinggi menandakan demokrasi
mengalami krisis efisiensi. Untuk masuk berkontribusi dalam gelanggang
pemerintahan seseorang diharuskan merogoh kocek yang sangat dalam, padahal
sejatinya demokrasi memberi kesempatan yang sangat luas kepada siapa saja yang
ingin berpartisipasi dalam pemerintahan, cost politik yang terlalu mahal
praktis menjadikan duit sebagai ukuran tentang siapa yang bisa berpartisipasi
di legislatif/eksekutif dan siapa yang tidak bisa.
Krisis tersebut tentu mendesak diatasi, krisis
legitimasi hanya dapat diatasi dengan mengembalikan marwah legislatif dan
eksekutif, caranya adalah pemangku legislatif dan eksekutif harus serius
berbenah, orang-orang baik dalam legislatif dan eksekutif perlu menonjolkan
peran yang lebih, bahkan peran dan karya mereka harus jauh lebih terlihat
dibandingkan rekan mereka yang tertangkap basah menjadikan posisinya untuk
melancarkan aksi gelap, di lain sisi kontrol masyarakat sipil terhadap
legislatif dan eksekutif harus semakin kuat, kontrol yang kuat menyebabkan
mereka untuk lebih mawas diri menjalankan perannya, oleh sebab itu ketika
masyarakat mulai apatis dengan sepak terjang legislatif dan eksekutif, maka di
titik itulah sebenarnya kematian demokrasi dimulai. Sedangkan krisis efisiensi
perlu ditangani dengan lebih mengoptimalkan tahapan penyaringan untuk masuk ke
dalam legislatif dan eksekutif, disana perlu ada bagian yang mampu memastikan
latar belakang integritas dari yang bersangkutan, bagian ini bisa diproduk dari
regulasi namun bisa pula lahir dari nilai yang menjadi budaya dalam masyarakat
kita, kondisi ini menghendaki perlu adanya kekuatan moral dalam menilai
kualitas orang lain.
Demokrasi boleh jadi bukan sistem sempurna, namun
sistem inilah yang menjadi fakta dalam ruang keindonesiaan kita, sistem ini
untuk sekarang boleh disebut sebagai yang paling pas dengan perkembangan pola
pikir manusia, khususnya pada aspek egalitarianisme dan kebebasan, oleh sebab
itu menguatkan demokrsi adalah jalan yang lebih sesuai. Perubahan pasti akan
terus terjadi, boleh jadi di masa mendatang saat mayoritas manusia sudah tidak
bisa menerima konsep demokrasi maka disitulah lahirnya sistem baru, sebagaimana
zaman kerajaan dulunya pernah dianut lalu ditinggalkan, namun untuk sekarang
kita perlu menghadapi fakta yang ada di depan mata.
Penulis: Zaenal Abidin Riam
Posting Komentar