BREAKING

Kamis, 04 April 2013

Matinya Budaya Intelektual Kampus


Selama kurang lebih 72 tahun (terhitung dari 1945 sampai sekarang) oleh kalangan luar, kampus masih tetap dianggap sebagai lambang dunia intelektual, dengan kata lain orang masih mempersepsi bahwa selama kampus masih tegak maka, selama itu pula nuansa intelektual masih berkecambah dan tumbuh di tengah umat, namun jika direfleksi ke belakang sebenarnya asumsi ini masih berada pada tataran kewajaran, mengingat beberapa sepak terjang mahasiswa yang notabenenya berasal dari dunia kampus tidak bisa disepelekan begitu saja, sebutlah proklamasi yang sampai kapanpun akan menjadi unforgettable moment bagi masyarakat bumi pertiwi, juga tidak lepas dari campur tangan mahasiswa (kaum muda). 

Suatu keniscayaan bahwa kita memang tidak bisa memungkiri jika nuansa intelektual pada angkatan 65-66 atau angkatan 98 sangat mengental di dalam kampus, hal ini terbukti dengan begitu mudahnya kita menjumpai tempat – tempat kajian di kampus, bahkan organisasi ekstra kala itu, berlomba–lomba mengadakan kajian di kampus sebagai bentuk pencerahan kepada sesama mahasiswa yang menjadi ujung tombak bangsa ini, namun kondisi itu perlahan tapi pasti mulai ditinggalkan oleh masyarakat kampus, sehingga alam intelektual kampus justru memberikan tampilan yang jauh berbeda dari tahun 65-66 atau 98, kalau dulu tempat kajian sangat mudah dijumpai dan bertebaran di setiap sudut kampus, maka sekarang dicari selama seminggu pun belum tentu didapatkan, kalau dulu kampus sering diramaikan dengan lesehan kampus, maka sekarang dalam jangka waktu satu semester pun kegiatan itu belum tentu terlintas di mata kita, yang ramai justru lesehan gosip.
            
Menurut hemat penulis, terkaparnya kultur intelektual di kampus, tak pelak lagi turut berimbas terhadap meredupnya nuansa gerakan mahasiswa hari ini, bahkan ada indikasi bahwa  mahasiswa generasi sekarang mulai ciut atau mulai tidak bernyali melakukan gerakan penentangan terhadap ketidakadilan di kampus dan di negeri ini dalam skala yang lebih luas, konsekuensi logisnya adalah semakin tumbuh suburnya para mahasiswa apatis di kampus, mahasiswa yang tidak peduli dengan kondisi kemahasiswaan, mahasiswa yang tidak mau tahu apakah dirinya tertindas atau tidak, yang jelas mereka masih merasa fun-fun saja karena bisa bercanda di tengah hujan kebijakan dari birokrasi kampus dan pemerintah yang nyata merugikan mahasiswa dan rakyat, sangat sederhana untuk menjelaskan sinkronisasi (hubungan) antara matinya kultur intelektual kampus dan meredupnya gerakan mahasiswa, insan yang bisa melakukan perekayasaan di bidang kemahasiswaan adalah insan tercerahkan (rausyan fikr), insan tercerahkan tersebut baru bisa terwujud ketika kultur intelektual bisa mapan di setiap kampus.
            
Belakangan ini dalam dunia kampus muncul sindrom “narsisme intelektual” yakni sekelompok manusia dalam kampus yang terlalu mudah melabeli diri sebagai intelektual, padahal  hakikatnya mereka belum pantas menyandang predikat tersebut, opini narsis semacam ini mampu bertahan bahkan tumbuh subur dalam komunitas mahasiswa tertentu, disebabkan terjadinya mispersepsi terhadap kata intelektual itu sendiri, muncul kecenderungan dalam diri mereka untuk mempersamakan antara akademisi dan intelektual, sehingga secara tidak langsung anggapan tersebut akan menjadikan mereka alergi terhadap kegiatan di luar proses perkuliahan, semisal bergabung dalam salah satu organisasi dengan orientasi perubahan.

Untuk menjadi intelektual sejati, maka seorang mahasiswa mesti bergabung ke dalam organisasi yang berbasis perubahan dan pencerahan, bukan dengan terkungkung dalam setting permainan birokrasi kampus yang cenderung mendorong mahasiswanya untuk sekedar menjadi akademisi, yang dalam banyak kasus sering tidak peka dengan realitas kampusnya sendiri. matinya budaya intelektual kampus hanya bisa disikapi dengan bergabung ke dalam organisasi yang berbasis perubahan dan pencerahan, sebab dalam organisasi tersebutlah senantiasa hidup berbagai diskusi yang memproduk ide–ide perubahan yang mesti ditindaklanjuti dalam ranah praktis, gerakan apapun tidak akan pernah kokoh tanpa memiliki dasar intelektual dan spiritual yang kuat.   

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

2 komentar:

  1. Setuju dengan pandangan penulis bahwa terjadi degradasi kultur intelektual di lingkungan kampus saat ini. Walaupun begitu, saya kurang setuju ketika dalam beberapa kalimat di atas “dalam kacamata saya sebagai pembaca” terkesan menyalahkan mahasiswa yang apatis dalam melihat ketidakadilan yang terjadi dan mungkin juga semakin lemahnya semangat mahasiswa untuk bergabung dalam sebuah gerakan organisasi.
    Mungkin yang perlu menjadi renungan saat ini bagi suatu organisasi gerakan adalah penyembuhan organisasi gerakan tersebut dari dalam dirinya, bukan penyembuhan yang ada diluarnya. Artinya bahwa sebagai oraganisasi gerakan perlu instrospeksi dan tindakan kreatif (walaupun tentunya tetap dalam prinsip dasar organisasi), sehingga kultur intelektual di dunia kampus akan kembali hidup.
    Sebenarnya, terdapat keresahan bagi saya ketika melihat suatu gerakan oranisasi yang terjadi saat ini (tentunya ini merupakan pandangan subjektif saya pribadi). Hal ini melihat dari ‘banyaknya’ organisasi yang melakukan program kerja ‘sekedarnya’ dan proram-program itu ‘tidak dibungkus’ dengan minat para mahasiswa yang akhirnya kurang mendapat perhatian. Selain itu, sangat sedikit dari organisasi yang mewariskan bakat kepada para kadernya, dan kalaupun ada kader yang cerdas, biasanya bukan karena kerja keras organisasi tersebut, tapi lebih karena usaha kader itu secara pribadi....

    BalasHapus
  2. sebenarnya tdk bermaksud meyalahkan secara utuh mahasiswa yg alergi terhadap organisasi namun sy jg tidak membenarkan secara utuh, dalam titik tertentu rasa alergi mereka terhadap organisasi bisa dimaknai sebagai kekurangpiawaian organisasi dalam mempengaruhi mereka u terlibat dalam kerja pencerahan dan perubahan, memang penting pula bagi setiap organisasi u merekonstruksi model gerakannya dalam konteks tertenti dgn tetap menjaga prinsip idealisme gerakan Bagi saya secara pribadi, para aktivis kampus yg masih bergelut dlm organisasi yang mesih menjaga khittah independensinya maka ia perlu masuk ke dalam organisasi yg telah mulai kehilangan arah (termasuk organisasi yg sekedar menjalankan ritual) lalu melakukan gerakan sistematis dr dalam guna mengembalikan organisasi tersebut kepada tujuan awalnya sebagai wadah pencerahan dan transformasi sosial, jalan lain yg bisa ditempuh adalah dgn menggunakan pengaruh luar, yakni dgn cara membangun silaturrahim dlm bentuk tukar gagasan dgn organisasi bersangkutan demi mengarahkan mereka agar kembali ke khittah awal organisasi..

    BalasHapus

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT