BREAKING

Sabtu, 07 April 2018

Konflik Agraria dan Matinya Sensibilitas Kemanusiaan Aparat Di Luwuk Banggai



Proses penggusuran yang baru berselang beberapa hari terjadi di Tanjung Sari, Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah menyisakan ribuan tanya, betapa tidak, dalam penggusuran tersebut tindakan aparat yang terdiri dari Polisi, Satpol PP, dan TNI melampaui batas kewajaran sebagai manusia. Warga yang berupaya bertahan di lokasi penggusuran dibubarkan paksa oleh aparat dengan menggunakan tembakan peluru karet dan gas air mata, lebih paranya lagi ibu-ibu yang menggelar sajadah sambil zikir untuk menghalangi penggusurun justru dibubarkan paksa bahkan ditembaki dengan gas air mata.

Dalam penggusuran paksa kali ini pihak kepolisian mengerahkan 837 personel gabungan Polres Banggai dan Polda Sulteng, sebuah jumlah yang besar, sayangnya jumlah yang besar ini digunakan untuk melakukan tindakan kekerasan kepada rakyat sendiri, masyarakat yang menggunakan peralatan seadanya demi mempertahankan hidupnya, dipaksa berhadapan dengan 837 personel kepolisian dengan peralatan lengkap. Apa yang berada di benak aparat saat berhadapan dengan rakyat sendiri? kaum yang seharusnya dibelanya, kaum yang membayar pajak demi membiayai gaji mereka. Apakah mereka merasa bangga karena alasan tugas yang tidak jelas ukuran kemanusiaannya? Entahlah, biarkan mereka merenung. Pencopotan terhadap Kapolres Banggai, AKBP Heru Pramukarno, pasca kejadian sudah merupakan langkah tepat, tapi hal tersebut tidak menyelesaikan akar masalah. Rakyat Tanjung Sari masih terancam penggusuran.

Dari sisi hukum, Pengadilan Negeri Luwuk juga harus bertanggungjawab dalam kasus ini, diketahui penggusuran ini terjadi atas kekeliruan PN Luwu karena ketidakjelasan putusan objek sengketa yang dikeluarkannya, objek putusan justru meluas ke rumah dan pemukiman warga, akibatnya tanah seluas 200 Hektar, tempat bermukim 200 unit rumah, 342 KK, serta 1411 jiwa terancam kehilangan tempat tinggal, padahal mereka memiliki bukti kepemilikan tanah berupa SHM resmi kementerian ATR/BPN. Muasal konflik sesungguhnya merupakan sengketa perdata antara dua pihak yang seharusnya tidak melibatkan warga lainnya. Pemerintah setempat juga harus bertanggungjawab atas tragedi ini, tindakan ini mengindikasikan pemerintah tidak hadir sebagai pelindung bagi warganya.

Apa yang terjadi di Luwuk Banggai sesungguhnya merupakan cerminan dari parahnya konflik agraria di Indonesia, 70-80 % tanah di Indonesia dikuasai oleh pihak asing, kaget? Miris bukan? Tapi itulah faktanya. Kita mengaku sebagai pemilik negara ini tapi tanah kita hampir seluruhnya dikuasai asing, ingat! Asing bukan sekadar menguasai tanahnya, tapi sumber daya alam yang terkandung dalam tanah itu juga dikuasai mereka, sesuatu yang benar-benar tidak adil, belum lagi di tanah yang mereka kuasai sering terjadi konflik perebutan lahan dengan warga setempat, bila ini terjadi, mereka langsung meminta bantuan aparat, apakah aparat membela rakyat dalam kasus seperti ini, tidak, dan jangan berharap, aparat justru menindak warga pribumi, hebat kan, sudah menguasai tanah kita, memerintah aparat pula, lalu menggunakan aparat untuk menindak kaum pribumi, lalu rezim yang berkuasa sekarang ngapain saja, sibuk pencitraan? Mungkin.

Penulis: Zaenal Abidin Riam

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT