BREAKING

Kamis, 16 Mei 2013

Menyikapi Tradisi


di Suatu desa hidup sebuah keluarga sederhana, anggota keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu , dan seorang anak. Mereka termasuk tipe keluarga yang masih berpegang teguh pada kebiasaan nenek moyang, setiap malam jumat mereka membakar dupa, sang anak tidak diperkenankan duduk di pintu atau di atas bantal, sang anak diminta mengikuti perintah tersebut karena jika tidak maka ia bisa sakit, semua perintah tersebut diterima begitu saja oleh sang anak tanpa pernah mempertanyakannya, akan tetapi sikapnya menjadi jauh berbeda tatkala sang anak menginjakkan kaki di bangku perkuliahan, ia mulai mempertanyakan apa yang selama ini dianggap sebagai kebiasaan sakral dan pantang dilanggar. Lebih jauh dirinya mulai menyangsikan ritual semacam itu, baginya semua itu tidak lebih dari sekedar mitos yang sangat irasional, akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan kebiasaan semacam itu.

Secara sederhana, cerita di atas berusaha mendeskripsikan pergeseran tradisi dari satu bentuk ke bentuk yang lain, penulis tetap menyadari bahwa deskripsi di atas terlalu sederhana (bahkan tidak kompeten) untuk memberikan gambaran detail tentang tradisi, banyak benang kusut yang mesti diurai satu per satu demi menyingkap tabir dibalik tradisi, membincang tadisi berarti kita akan berdiskusi seputar kebiasaan yang dipatenkan dalam sebuah komunitas  kemudian dianut oleh setiap individu yang berada di dalamnya, kebiasaan ini bisa bersifat empirik namun juga bisa bersifat abstrak, pada titik ini akan dijumpai perbedaan persepsi dalam mendeskripsikan tradisi, tentunya defenisi tersebut sangat dipengaruhi oleh titik pemberangkatan dalam memandang masalah ini.
            
Ruang kehidupan manusia selalu diwarnai oleh pertarungan tradisi yang secara umum dapat dipetakan ke dalam dua kutub utama, yakni mainstream tradisi modernisme dan mainstream tradisi tradisionalisme. Disadari bahwa penggunaan istilah modernisme dan tradisionalisme tidak dapat diterima oleh kalangan tertentu karena dianggap bias, keduanya sering berjumpa dalam ruang empirik manusia bahkan lebih jauh keduanya terlibat dalam proses dialektika yang lebih sering mewujud dalam bentuk konflik, modernisme bersifat skeptis terhadap tradisionalisme karena dianggap menghambat kemajuan sebaliknya tradisionalisme berlaku curiga terhadap modernisme karena ia dianggap mengandung benih yang dapat merusak mentalitas umat dan menjauhkannya dari nilai luhur tradisi. Sebenarnya kedua entitas tradisi tersebut masing – masing bersikukuh sebagai pembawa panji kemanusiaan dan menebar janji kemanusiaan (keselamatan) kepada manusia, pola hubungan seperti ini tentu tidak menguntungkan dalam dinamika masyarakat sebab keduanya telah terlanjur memproklamirkan diri sebagai kutub tradisi yang paling shahih serta berusaha untuk saling menyingkirkan antara satu sama lain.
            
Dalam suasana ketegangan ini kita sering mendengar istilah “meninggalkan trdisi demi mencapai kemajuan”, menurut hemat penulis ada sebuah pertanyaan yang patut dilontarkan terkait dengan statement tersebut, apakah benar bahwa manusia mampu meninggalkan tradisi? Apakah kritik terhadap tradisi tertentu akan menyebabkan ia mampu menanggalkan jubah tradisi dari tubuhnya? secara asasiah manusia selalu mengasosiasikan diri denaga tradisi tertentu sehingga ia mustahil memisahkan diri dari tradisi, usaha lepas landas dari tradisi tertentu selalu diakhiri dengan mendaratkan diri pada tradisi yang lain. Tradisi terlalu sukar (kalau bukan mustahil) untuk dibunuh tetapi hanya bisa digantikan dengan model tradisi lain yang diyakini lebih ampuh menjawab problematika kemanusiaan.
            
Setiap tradisi mesti diberi ruang untuk mengekspresikan diri dalam kehidupan masyarakat, merupakan sebuah tindakan paradoks jika manusia modern yang mengagungkan kebebasan tetapi di sisi lain berusaha memangkas kebebasan itu sendiri (menutup kerang tradisionalisme), usaha peminggiran terhadap tadisi tertentu hanya akan menyebabkan resistensi dan penegasan diri berlebihan bagi tradisi tersebut, dalam tahapan lebih jauh penegasan diri secara berlebihan akan menjadi lahan persemaian subur terhadap munculnya benih ekstrimisme dan fanatisme. Menurut hemat penulis, keterbukaan ruang bagi semu jenis tradisi lebih berpotensi memunculkan ruang dialog antara berbagai tradisi yang ada, dialog merupakan jalan terbaik yang mampu mengendurkan ketegangan antara berbagai tradisi yang saling berjibaku di lapangan, dialog yang dimaksudkan tidak hanya dimaknai dalam kerangka formal an sich, aktifitas dialog antara tradisi seharusnya bersifat cair sehingga bisa berlangsung di luar struktur formal, dialog idealnya mampu mengambil tempat dalam kehidupan keseharian masyarakat yang multi tradisi, penting diingat bahwa prasyarat utama dalam melangsungkan dialog tradisi adalah “keterbukaan”, yakni mesti ada kesediaan dari setiap tradisi untuk menerima hal positif dari luar dirinya, bukan dengan telah terlebih dahulu memberikan label mati kepada dirinya sebagai tradisi terbaik sebelum melakukan dialog denga tradisi lain, egoisme seperti itu perlu dikikis demi memuluskan langkah ke arah sintesa tradisi.           

Penulis: Zaenal Abidin Riam
Ketua Komisi Intelektual dan Peradaban PB HMI MPO Periode 1437 - 1439 H/ 2015 - 2017 M

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

2 komentar:

 
Copyright © 2013 Pemikiran dan Sastra
Design by FBTemplates | BTT